BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada waktu Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan
“kaum Jahil”. Kaum Quraisy penduduk Mekah sebagai bangsawan. Di kalangan bangsa
Arab hanya memiliki 17 orang yang pandai tulis baca. Suku Aus dan khozroj
penduduk Yastrib (Madinah) hanya memilki 11 orang yang pandai membaca. Hal
ini menyebabkan bangsa Arab sedikit sekali mengenal ilmu pengetahuan dan
kepandaian lain. Hidup mereka mengikuti hawa nafsu, berpecah-belah, saling
memerangi satu dengan yang lain karena sebab yang sepele, yang kuat menguasai
yang lemah, wanita tidak ada harganya, berlakulah hukum rimba.[1]
Ide baru tentang sistem pemerintahan dan bentuk lembaga politik
negara sebagai produk peradaban, selanjutnya terjadi pada periode khalifah
empat, di sebut, “al-Khalifa’ al-Rasyidin” yang berlangsung
pemerintahannya selama tiga puluh tahun (632-661 M). Sejarah empat tokoh
tersebut benar-benar terjadi walaupun sebenarnya perkembangan peradaban
tersebut dalam bentuk nyata sepenuhnya dapat ditelusuri oleh para ahli sejarah.
Paling tidak sejarah mereka dapat dijadikan sebagai bukti autentik bagi
pengembangan peradaban masyarakat sesudahnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Al-Khulafa’ al-Rasyidun: Biografi Singkat?
2.
Bagaimana
Tasyri’ Pada Masa khulafa’ ar-Rasyidin?
3.
Bagaimana
Definisi Sahabat?
4.
Bagaimana
Kelebihan Para Sahabat Memahami Syariat?
5.
Bagaimana
Sumber Tasyri’ pada Masa Sahabat?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
Al-Khulafa’ al-Rasyidun: Biografi Singkat.
2.
Menjelaskan
Tasyri’ Pada Masa khulafa’ ar-Rasyidin.
3.
Menjelaskan
Definisi Sahabat.
4.
Menelaskan
Kelebihan Para Sahabat Memahami Syariat.
5.
Menjelaskan
Sumber Tasyri’ pada Masa Sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al-Khulafa’ al-Rasyidun: Biografi Singkat
Muhammad SAW., di samping sebagai pemimpin agama juga kepala
pemerintahan. Setelah wafat, fungsi sebagai Rasulullah pengemban risalah
kenabian tidak dapat disandangkan kepada manusia mana pun di dunia ini, karena
penetapan fungsi tersebut adalah mutlak dari Allah SWT. Selanjutnya
pemerintahan Islam dipimpin oleh empat orang sahabat terdekatnya selama 30
tahun. Kepemimpinan tersebut adalah periode Khalifah Empat atau al-Khulafa’
al-Rasyidun, terdiri dari empat khalifah, yaitu:
1.
Abu
Bakar al-Shiddiq 11-13 H/632-634 M
2.
Umar
bin Khattab 13-23 H/634-644 M
3.
Utsman
bin Affan 23-35 H/644-656 M
4.
Ali
bin Abi Thalib 35-40 H/656-661 M
Meskipun berlangsung singkat untuk sebuah rintisan dan penguatan,
pemerintahan al-khulafa’ al-Rasyidun adalah masa yang sangat bermakna
dalam sejarah peradaban Islam. Di samping secara kekerabatan memiliki kedekatan
hubungan dengan Muhammad SAW., tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap
intensitas mereka dalam menangani urusan kenegaraan dan melanjutkan risalah
kenabian. Tampaknya al-Khulafa’ al-Rasyidun telah berhasil menyelamatkan
Islam, mengonsolidasikan dan meletakkan dasar bagi keagungan Islam. Misalnya
Abu Bakar menetralisir situasi tertentu di kalangan yang hampir bersitegang
perihal pengganti Rasulullah. Ia juga menyelamatkan masyarakat saat itu dari
pengaruh dan intimidasi para murtaddin dan propaganda nabi-nabi palsu.[2]
Selanjutnya Umar bin Khattab berhasil mengembalikan stabilitas
pemerintahan Islam bahkan penguatan negara tersebut di semenanjung Arabia,
mengubah komonitas marginal padang pasir menjadi bangsa pejuang yang gigih
sehingga mampu membuat imperium Persia dan Byzantium menyerah dan bertekuk
lutut. Sebagai khalifah yang gagah, Umar mampu membangun kekuatan baru di
Persia, Irak, Kaldea, Suriah, Palestina, dan Mesir. Apa yang telah digagas Umar
bin Khattab dilanjutkan oleh khalifah berikutnya, Ustman bin Affan, seperti
ekspansi besar-besaran ke wilayah Asia Tengah dan Tripoli.
Satu-satunya orang yang menyatakan ke-Islamannya kepada Muhammad SAW.
di tengah yang lain belum melakukan hal tersebut adalah Abu Bakar. Hal ini
kemudian menjadi pertimbangan penobatannya sebagai khalifah pertama dalam Islam
di samping terdapat bukti-bukti pendelegasian Rasulullah kepadanya sebagai imam
shalat di saat udzur. Sebagai sahabat dekat yang insten mendampingi Nabi, ia
adalah energi yang memberikan kekuatan tersendiri, dan Allah SWT. Menegaskan
keutamaan Abu Bakar dalam al-Qur’an. Dalam menjalankan pemerintah, Abu Bakar
selalu bermusyawarah dengan para sahabat lainnya, walaupun kekuatan yang
singkat terkesan sentralistik, karena legislatif, eksekutif dan yudikatif
berada di tangan khalifah sebagai pemimpin tertinggi negara. Sebagaimana telah
di urai, begitu banyak peperangan pada masa khalifah ini baik di dalam maupun di luar wilayah
pemerintahan. Upaya penguatan aspek keagamaan sudah pasti dilakukan, karena
penguatan publik cukup kuat kepadanya, terlebih sangat dekat hubungannya dengan
Rasulullah, termasuk hubungan keluarga. Khalifah kebetulan wafat ketika pasukan
Islam sedang mengepung wilayah sekitar, yaitu Palestina, Irak, dan kerajaan
Hirah. Lalu di gantikan khalifah berikutnya.
Adapun khalifah kedua adalah ‘Umar bin Khattab. Nama lengkapnya,
Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari Bani Adi bin Ka’ab, kelompok
kecil dari kabilah Quraisy, lahir pada tahun 586 M dan wafat pada tahun 644 M.
Tokoh ini di kenal pemberani, keras hati dalam mempertahankan sebuah idealisme.
Ia masuk Islam setelah tersentuh jiwanya oleh lantunan kalam ilahi, al-Qur’an
dari bibir adiknya sendiri, berubah secara radikal menjadi pembela agama wahyu
tersebut. Sebagai kepala negara, Umar bin Khattab banyak melakukan
pembaruan-ijtihad, baik dalam bidang politik maupun keagamaan. Pemerintahannya
cukup solit didukung oleh birokrasi yang cukup sophisticates, terpancang
dari jazirah Arabia, Palestina, Syuriah, sebagian besar wilayah Pesrsia sampai
Mesir. Setelah memerintah selama sepuluh tahun, Umar wafat akibat sebuah
konspirasi yang dirancang oleh musuh-musuh Islam, yaitu Yahudi dan Persia.[3]
Khalifah ketiga adalah ‘Ustman bin Affan, nama lengkapnya adalah
‘Ustman bin ‘Affan bin Abi As bin Umayah bin ‘Abdi Syam. Ia menikah dengan dua
putri Rasulullah, Raqayyah dan Ummu Kulstum, dianugrahkan gelar kehormatan Dzu
al-Nurain (orang yang mempunyai dua cahaya). Selama dua belas tahun
pemerintahannya, khalifah Ustman di sibukkan dengan berbagai pemberontakan,
nepotisme adalah salah satu alasan yang digunakan untuk menyudutkannya.
Walaupun demikian, khalifah Ustman juga melanjutkan ekspansi wilayah kekusaan
Islam sampai ke Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari
Persia. Sama halnya khalifah kedua, Utsman wafat dalam keadaan syahid, tepatnya
bulan Dzulhijjah tahun 35 H/656 M setelah terjadi pergolakan besar, disebut al-Fitnah
al-Kubra (malapetaka terbesar).
Berbeda dengan tiga tokoh sebelumnya, ‘Ali bin Abi Thalib mempunyai
kedudukan tersendiri. Selain sebagai sepupu Muhammad SAW., ia juga menantu,
karena pernikahannya dengan Siti Fatimah putri Nabi. Dari perkawinan ini lahir
Hasan dan Husain. Disayangkan perjalanan hidup kedua cucu Nabi tersebut di
bunuh oleh seorang Khawarij, Abdurrahman bin Muljam pada bulan Ramadhan tahun
40 H/661 M. Hal ini disebabkan karena kebijakannya yang dianggap tidak populis,
seperti kebijakan menarik kembali tanah yang dihadiahkan Ustman kepada rakyat
dengan pendapatan untuk negara. ‘Ali bin Abi Thalib juga dituntut oleh pihak
tertentu untuk bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Ustman dengan dalih
qhishas. Diantara para sahabat yang melakukan pemberontakan terhadapnya adalah
Aisyah (istri Rasulullah), Talhah, Zubair, Amru bin As dan Muawiyah bin Abi
Sufyan.[4]
B.
Tasyri’ Pada Masa khulafa’ ar-Rasyidin
Periode
ini dianggap sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqh Islam. Periode ini
berawal dari zaman wafatnya Rosulullah SAW dan menghadap Allah pada tahun 11
hijriyah sampai akhir zaman khulafa Ar-Rosidin ppada tahun 40 hijriyah dengan
gaya dan corak tersendiri .setelah hukum-hukum syariat sempurna pada masa
kerasulan,lalu pidah ke zaman para sahabat,mereka harus memikul tanggung jawab
mencari sumber-sumber syariat yang ada agar dapat menjawab segala perkembangan
dan kejadian yang terus berlangsung dan tidak ada nash-nya dalam Alquran atau
sunnah.
Menghadapi
kenyataan ini,para sahabat dengan kelebihan intelektualitas,kedalam tingkat
pemahaman dn keluasan analisis terhadap
sasaran dan maqashid syariat dalam menghadapi setiap masalah,mereka
adalah orang yang sangat mampu untuk menjalankan mandat fiqh ini apalagi mereka
memiliki kedudukan yang mulia dalam jiwa kaum muslimin yang belum tentu
dimiliki oleh orang-orang mereka seperti para tabi’in walaupun mereka juga
memiliki kemampuan untuk menyelam seperti para sahabat.
Dibawah
ini akan kami jelaskan tentang aspek-aspek terpentingnya yang menghubungkan
semua fase ini.
C.
Definisi Sahabat
Adapun yang
disebut dengan sahabat menurut terminologi para ulama fiqh dan ushul fiqh
adalah setiap orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam status iman
kepadanya,dan meninggal dunia dalam keadaan beriman pula.[5]
Dalam hal ini,
para ulama berbeda pendapat tentang lamanya interaksi/pergaulan (shuhbah)dengan
Rosulullah SAW dan banyaknya periwayatan dari nabi SAW. Sebagian mereka
mensyaratkan seorang sahabat harus bergaul dengan nabi SAW selama satu atau dua
tahun dan pernah berperang bersama baginda Rosulullah SAW walaupun hanya sekali
atau dua kali.[6]
Sebagian ulama ada yang tidak memberikan syarat seperti
diatas,sehingga setiap orang yang bertemu dengan Nabi adalah sahabat, lepas
dari apakah ia ulama atau sebentar bergaul dengan rosulullah, juga apakah ia
pernah meriwayatkan hadits dari nabi atau tidak, pernah berperang atau tidak
bersama beliau.singkat kata, siapa yang pernah melihat baginda rosulullah
walaupun tidak sempat melihat karena ada kendala seperti buta.namun,ada ulama
yang memberikan syarat harus melihat pada waktu ia berusaha tamyiz.
Menurut pendapat yang kedua,jumlah para sahabat sangat banyak.abu
zur’ah menuturkan bahwa ketika wafat,rosulullah meninggalkan 114.000 orang
sahabat yang pernah meriwayatkan hadits nabi dalam riwayat lain termasuk orang
yang pernah melihat dan mendengar dari rosulullah.Abu Zur’ah ditanya,”di mana
mereka dan dimana mereka mendengar hadits Nabi?” ia menjawab, “dia terlihat
oleh penduduk madinah,penduduk Mekah dan diantara keduanya,orang-orang Arab
badui,orang yang bersama Nabi pada waktu haji wada’,dan setiap orang yang
melihat dan mendengar dari nabi di Arafah.[7]
D.
Kelebihan Para Sahabat Memahami Syariat
Para sahabat memiliki keistimewaan
tersendiri dalam memahami syariat Islam dibandingkan orang lain,disebabkan
beberapa faktor sebagai berikut.
1.
Mereka
sangat dekat dan bertemu langsung dengan nabi sehingga memudahkan mereka untuk
mengetahui asbabun nuzul ayat dan hadits.mereka juga megetahui penafsiran Rosulullah tentang beberapa ayat
selain juga mengetahui ilat hukum dan hikmahnya yang hasilnya dapat memudahkan
mereka untuk melakukan qiyas nash-nash yang ada kemiripan lalu menetapkan
hukumnya.
2.
Mereka
memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa Arab yang merupakan
bahasa Alquran sehingga mudah untuk memahami makna Alquran sebab diturunkan
dengan bahasa arab.
3.
Mereka
menghafal Alquran dan sunnah Rosulullah,menjadi orang yang pertama mempelajari
ilmu syariat dan hukumnya.
Walaupun para sahabat memiliki kemampuan khusus dan tingkat
pemahaman istimewa dalam memahami syariat dan meng-istinbat hukum,namun bukan
berarti ini berlaku untuk semua .Akan tetapi,mereka juga berbeda-beda dalam hal
tingkat pemahaman,sebab mereka juga manusia biasa yang memiliki perbedaan dan kelebihan
masing-masing.
Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor,di antaranya sebagau
berikut.
- Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham dengan bahasanya sendiri,istilah-istilah asing yang ada dan cara pemakaiannya,tetapi ada juga yang tidak bisa.Misalnya,apa yang yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab ketika ia membaca firman Allah dalam khutbahnnya,Atau Allah akan mengazab mereka disebabkan mereka menghina (takhawwufin), kemudian Umar bertanya kepada hadirin tenteng makna takhawwufin , “Apa pendapat kalian tentang ayat ini dan apa takhawwuf itu?” lalu berdirilah seseorang yang sudah berusia lanjut dan kabilah Huzail dan berkata, “Ini bahasa kami dan takhawwuf artinya menghina (tanaqqush)”, Umar berkata, “apakah orang arab tahu ini dalam syair mereka?” ia menjawab “ya”, dan ia pun menyebutkan sebuah bait untuk memperkuat ucapannya umar berkata,”jagalah syair kalian dan kalian tidak akan tersesat.”para sahabat bertanya,”Apa itu syair (diwan) kami?”Umar menjawab, “syair jahiliyah, sebab di dalamnya ada penafsiran untuk kitab kalian dan makna ucapan kalian.”
- Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rosululah, sebab bergaul dengan baginda Rosulullah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbab nuzul ayat dan sunnah. Selain membuka pikiran untuk memahami makna syariat secara lebih dalam termasuk tentang rahasianya. Oleh karena itu, semakin banyak seseorang bermulazamah (bergaul) dengan baginda Rosulullah maka semakin baik pemahamannya. Sahabat generasi pertama (as-sabiqun) yang beriman, tidak sama dengan orang-orang setelah mereka, dan orang-orang setelah mereka, dan orang yang dekat dengan baginda Rosulullah tidak sama dengan orang-orang yang jauh darinya.
- Kemampuan dan kapasitas individu yang berbeda-beda, diantaranya perbedaan dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengeluarkan hukum (istinbat) , kemampuan menerjemahkan syarat dari nash-nash syariat, di antaranya:
Ketika firman Allah turun: pada hari ini telah ku sempurnakan untuk
kamu agama bagimu. (QS. Al-ma’idah (5):3), para sahabat bergembira dan
menyangka bahwa hal itu hanya sebatas pemberitahuan tentang kesempurnaan agama,
namun Umar bin Khattab justru menangis dan berkata, “setelah ia sempurnakan
pasti ada yang akan berkurang!” Ia merasa baginda Rosulullah akan wafat. Umar benar
dalam memahami hal ini,sebab 81 hari kemudian Rosulullah tutup usia (wafat).
Imam Al-Bukhori meriwayatkan atsar dari Ibnu Abbas ihwak tafsir
Surah An-Nashr. Ia bercerita: Suatu hari Umar bin Khattab penah mengundang para
petinggi tentara dalam perang Badr dan ia mengajak saya, lalu Umar berkata, “
Apa pendapat kalian tentang firman Allah: Apabila telah datang pertolongan dari
Allah dan kemenangan.”(QS. An-Nashr (110): 1) Sebagian sahabat menjawab,”kami
diperintahkan untuk memuji Allah dan meminta ampunan jika dia menolong dan
menenangkan kami. “ sebagian sahabat lainnya hanya diam saja. Lalu Umar berkata
kepadaku (Ibnu Abbas), “Apakah begitu wahai Ibnu Abbas?” Aku jawab,”Tidak .”
Umar pun bertanya lagi, “Apa pendapat
kamu wahai Ibnu Abbas?” Aku jawab, “itu adalah ajal Rosulullah yang dijelaskan
oleh ayat ini. “ Umar menjawab, “saya belum pernah tahu sebelumnya (mengenai
hal ini) kecuali setelah kamu jelaskan.”
Di antara bukti nyata keragaman tingkat pemahaman para sahabat
adalah apa yang diriwayatkan dari Masruq. Ia berkata, “Aku pernah berkawan
dengan para sahabat Nabi dan aku mendapati mereka seperti bendungan, dan
bendunga itu bisa memberi minum ratusan orang. Seandainya seluruh penduduk bumi
turun dan mengambil air dari dalamnya niscaya cukup bagi mereka. Hal ini wajar
sekali terjadi pada setiap komunitas orang walaupun mereka memiliki kapasitas
dan kesempatan yang sama atau berbeda-beda.
E.
Sumber Tasyri’ pada Masa Sahabat
Sahabat Rosulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban
setelah Rosulullah tiada untuk menjelaskan tenteng syariat Islam dan
mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul. Di antara
permasalahan yang muncul ada yang sudah disebutkan nash-nya dan ada yang belum
disebutkan hukumnya.oleh karen itu, para sahabat dituntut untuk mengeluarkan
hukum (istinbat) dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk Nabi sehingga
produk hukum yang ditetapkan tidak kontradiktif.
Hal ini dapat dilihat dalam kitab
karya Imam Al-Baghawi, Mashabih as-sunnah. Dari Maimun bin Mihran, ia berkata,
“jika ada orang yang berselisih datang kepada Abu Bakar, ia akan melihat kitab
Allah. Jika ia temukan didalamnya apa yang bisa memutuskan perkara mereka, maka
ia akan memutuskan dengannya. Sementara jika tidak ada dalam kitab Allah dan ia
tahu ada sunnah dari Rosulullah tentang hal itu, maka ia akan memutuskan
dengannya. Kemudian jika tidak ada, Abu Bakar akan keluar menemui kaum muslimin
dan berkata, “ada yang datang begini dan begitu,apakah kalian ada yang tahu
Rosulullah pernah memutuskan hal itu,atau ada sekelompok sahabat yang berkumpul
lalu baginda Rosulllah menceritakan hal itu kepada mereka?” jika ia tidak
menemukannya juga dalam sunnah Rosulullah, maka ia akan mengumpulkan para
pemimpin (tokoh) dan orang-orang pilihan dan bermusyawarah (urun rembug) dengan
mereka. Jika dalam musyawarah tersebut Abu Bakar sudah menyatukan pndaat mereka
tentang sesuatu, maka itulah yang akan menjadi keputusannya.
Mereka juga halnya dengan Umar,ia
melekukan apa yang pernah dilakukan Abu Bakar, jika ia tidak menemukan
jawabannya dalam Alquran dan sunnah, ia akan melihat, apakah Abu Bakar pernah
memutuskan hal itu? Jika ia Menemukan keputusan Abu Bakar maka ia akan
memutuskan dengan itu dan jika tidak maka ia akan mengundang para pemimpin kaun
dan jika mereka sudah sepakat terhadap sesuatu maka ia akan melaksanakan
keputusan itu.
Dari sini jelaslah bagi kita bahwa
sumber pensyariatan (perundang-undangan) pada masa sahabat adalah
1.
Alquran
2.
As-Sunnah
3.
Ijma’
,dan
4.
Logika
(ra’yi)
Dalam aplikasinya, sumber-sumber perundang-undangan ini dapat
diurutkan dalam langkah-langkah
praktis sebagai berikut.
Pertama, meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
Kedua, meneliti dalam sunnah Rosulullah jika tidak ada nash dalam kitab
allah. Jika mereka menemukan nash dalam kitab allah atau sunnah yang
menunjukkan hukumnya, mereka pun berhenti disini dan mencari hukumnya, berusaha
memehami kandungannya. Terkadang mereka sepakat dan terkadang berbeda pendapat
disebabkan oleh pemakaian bahasa yang berbeda atau karena kondisi periwayatan.
Ketiga, ijma’ (konsensus bersama), yaitu jika tidak ada nash dalam
kitab Allah atau sunnah Rosulullah atau ditemukan namun bersifat global, atau
nash-nya banyak dan setiap nash memberi hukum yang berbeda, atau berupa khabar
ahad. Dan diantara manhaj mereka pada waktu ini adalah khalifah mengundang para
sahabat untuk melakukan konsensus (ijma’). Jika mereka sepakat, masalah
kemudian dibahas dan saling tukar pendapat, dan jika rapat menyetujui satu pendapat
maka itulah yang akan mereka putuskan
dan menjadi sebuah hukum yang pasti dan mengikat, inilah yang dinamakan
ijma’.
Keempat, ra’yi (pendapat pribadi), maksudnya setiap hukum yang
ditetapkan bukan berdasarkan petunjuk nash termasuk qiyas, istihsan, mashlahah
mursalah, bara’ah adz-dzimmah dan sadd adz-dzari’ah.
DAFTAR RUJUKAN
Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur: KENCANA, 2003.
Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2014.
Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyrik, Jakarta: Amzah, 2015.
[1] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (jakarta Timur: KENCANA, 2003), hlm. 13
[2] Rusydi
Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2014), hlm. 205-206
[3] Ibid., 208
[4] Ibid., 209
[5] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyrik, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 57.
[6] Ibid., 58.
[7] Khalil,
tasyrik, hlm. 58.
0 Komentar untuk "FAKTOR PERKEMBANGAN TASYRIK PADA MASA KHALIFAUR RASYIDIN"