PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iman merupakan percaya akan adanya Allah ,
meyakini dan membenarkan semua yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena iman,
seseorang mengakui adanya hal-hal yang wajib dan hal-hal yang mustahil bagi
Allah. Iman menjadikan seorang mukmin berbahagia dan berhak untuk mendapatkan
surga tuhan kelak di hari kiamat. Dalam agama islam, adanya
kepercayaan harus mendorong pemeluknya dengan keyakinan dan kesadarannya untuk
berbuat baik dan menjauhi larangan Tuhan. Oleh sebab itu seseorang baru
dianggap sempurna imannya apabila betul-betul telah diyakinkan dengan hati,
kemudian di ikrarkan dalam lisan dan di buktikan dengan amal perbuatan.
Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, maka ilmu dan agama berjalan berdampingan. Jadi keduanya
ini menguatkan kepercayaan Tuhan yang Maha Esa, yang menjadikan manusia dan
segala yang terdapat di alam ini serta mengaturnya. Maka batallah dugaan orang
yang berpendapat bahwa alam terjadi sendirinya, yang pernah terhambur dari
mulut orang-orang atheis. Jaman sekarang ini adalah jaman iman dalam arti kata
yang sesungguhnya. Ilmu modern menetapkan, bahwa makhluk ini dijadikan dengan
hikmah dan teratur dengan maksud untuk menjadikannya itu sudah jelas, jaman
sekarang adalah jaman ilmu pengetahuan.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep iman?
2. Bagaimana konsep ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana hubungan iman dan ilmu pengetahuan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan adanya Allah dan meyakininya.
2. Untuk menjelaskan ilmu pengetahuan.
3. Untuk memahami hubungan iman dan ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Iman
Kata “Iman” berasal
dari bahasa arab yang berarti tasdiq (membenarkan). iman itu tempatnya dalam
hati yang membenarkan semua yang dibawah Rasul Muhammad SAW baik yang bersifat
wajib maupun yang mustahil bagi Allah SWT. Dalam pembahasan Ilmu Tauhid/Ilmu Kalam konsep iman terbagi menjadi tiga yaitu:
1.
Iman adalah tasdik dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan
Nabi dan Rasul Allah. Menurut konsep ini Iman dan Kufur itu adalah semata-mata
urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tasdik (membenarkan/meyakini)
akan adanya Allah maka ia disebut telah beriman, sekalipun perbuatannya belum
sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya. Konsep
ini banyak dianut oleh mazhab murji’ah, sebagian penganut jahamiyah dan
sebagian penganut asy’ariyah.
2.
Iman adalah tasdiq di dalam hati dan di ikrarkan
dengan lisan. Dengan demikian seseorang dapat digolongkan beriman apabila ia
mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan)
kepercayaan itu dengan lisan. Antara keimanan dan amal perbuatan manusia tidak
terdapat hubungan, yang terpenting dalam iman itu adalah tasdik dan ikrar. Konsep
ini banyak pula di anut oleh kelompok murjiah.
3.
Iman adalah tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan
dan dibuktikan dengan perbuatan. Antara iman dan perbuatan terdapat
keterkaitan, karena iman seseorang ditentukan dengan amal perbuatannya. Konsep
keimanan seperti ini di anut oleh mu’tazilah,khawarij dll.[2]
Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa konsep iman
dikalangan kaum muslimin adalah bervariasi, ada yang hanya memasukkan unsur
tasdiq, ada juga yang menambah unsur ikrar tanpa unsur amal perbuatan, ada pula
yang mengumpulkan ketiga unsur tersebut yaitu: tasdiq, ikrar dan amal
perbuatan.[3]
Pembahasan
masalah keimanan dalam Ilmu Tauhid juga menyangkut apakah imam seseorang dapat
bertambah atau sebaliknya. Dalam ini ada dua golongan yang menyatakan
pendapatnya yaitu: (1) mereka yang mengatakan bahwa iman seseorang itu tidak
dapat bertambah atau berkurang, (2) golongan yang mengatakan bahwa iman
seseorang itu dapat bertambah atau berkurang.
Golongan yang berpendapat bahwa iman
seseorang itu dapat bertambah atau berkurang pada tasdiq dan amalnya. Tasdiq
yang bertambah tentu di ikuti oleh frekuensi amal perbuatannya dan ketaatannya.
Bertambah atau berkurangnya tasdiq seseorang tergantung kepada:
a.
Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang di terima oleh
seseorang sehingga dapat menguatkan atau melemahkan tasdiqnya.
b.
Diri pribadi seseorang itu, artinya kemampuannya
menyerap dalil-dalil keimaman, makin kuat daya serapnya kuat pula tasdiqnya.
Sebaliknya jika daya serapnya lemah atau tidak baik maka tasdiqnya akan lemah
pula.
c.
Pengalaman terhadap ajaran agama. Seseorang
yang melaksanakan ajaran-ajaran agamanya dengan baik dan benar, akan merasakan
kekuatan iman yang tinggi. Makin tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat
imannya atau tasdiqnya.
Masalah iman, yang berarti percaya, ramai pula
dibicarakan dalam ilmu Kalam. Pembicaraan tentang iman ini berkisar di seputar, apakah
iman itu hanya sebatas pembenaran dalam hati saja, ataukah iman juga harus
sampai kepada pengetahuan rasio dan pengalaman dalam kehidupan nyata? Dengan
kata lain, apakah iman hanya di tasdiq (pembenaran atas apa yang di dengar),
ataukah harus meningkat sampai ma’rifah (mengetahui benar apa yang di yakini)
serta ‘amal (perbuatan).[4]
Bagi pemikiran kalam rasional, karena memberikan daya
yang kuat kepada akal, iman bukan hanya sekedar tasdiq, tetapi juga ma’rifah
serta ‘amal. Sedangkan bagi pemikiran tradisional,
karena memberikan daya kecil kepada akal,
iman hanyalah sebatas tasdiq (pembenaran
dalam hati tentang apa yang di dengar).[5]
Aliran kalam rasional yang berpendapat bahwa akal manusia
dapat mengetahui adanya tuhan, kewajiban berterima kasih kepada tuhan,
mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik serta yang buruk,
memberikan konsep iman tidak hanya dengan tasdiq semata, tetapi harus meningkat
lebih tinggi dari itu, yakni ma’rifah dan ‘amal.
Dikalangan para pemikir kalam tradisional iman
adalah tasdiq. Sejalan dengan pandangan pemikiran kalam tradisional terhadap
akal, yang hanya mempunyai daya kecil, maka segala sesuatu yang berkaitan
dengan agama, terutama tentang iman didasarkan atas informasi wahyu. Oleh sebab
itu, tasdiq disini berarti pembenaran tentang apa yang di dengar dari wahyu.[6]
Bagi maturidiyah samarkand, sebagai yang dijelaskan
oleh imam Abu Mansur Al-maturidi sendiri, iman adalah tasdiq bukan lisan. Apa
yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, akan menjadi batal,
bila hati tidak mengakui apa yang di ucapkan itu.[7]
Namun Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu.
Tasdiq, yang difahami Al-Maturidi adalah tasdiq sebagai hasil dari ma’rifah.
Tasdiq hasil ma’rifah ini, adalah tasdiq yang dihasilkan melalui penjelajahan Al-‘Aql bukan semata-mata Al-Sam’u (pendengaran).
Al-maturidi mendasari pandangan ini pada ayat 260 Surah Al-Baqarah.
وَاِذْ قاَلَ
اِبْرَهمُ رَبِّ اَرْنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى, قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ,
قاَلَ بَلى وَلَكِنْ لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِيْ, قَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِنَ
الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ
جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَآْ تِيْنَكَ سَعْياً, وَاعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَزِيْزُ
حَكِيْم.ُِ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata,
“Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.”
Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku
percaya, tetapi agar hatiku tenang
(mantap).” Dia (Allah) berfirman,
“Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu, kemudian
letakkan diatas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka,
niscaya mereka datang kepadamu ssssdengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah MahaPerkasa,
MahaBijaksana.
Menurut Al-Maturidi, ayat diatas menjelaskan bahwa
ketika Nabi Ibrahim
meminta tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang mati, bukan
berarti Nabi Ibrahim
belum beriman. Tetapi yang dimaksud oleh
Ibrahim adalah agar iman
yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.[8]
Sementara bagi aliran mu’tazilah iman bukanlah
sekedar tasdiq dan ma’rifah, tetapi
harus meningkat kepada ‘amal. Itulah
sebabnya, menurut muktazilah iman adalah pelaksanaan perintah tuhan. Seseorang
dikatakan tidak beriman, bila seseorang itu tahu tentang tuhan, tetapi tidak
melaksanakan perintah-perintahnya atau menentangnya. Konsep
iman seperti ini diberi sandaran ayat 2 surah Al-Anfal.[9]
اِنَّمَا
الْمُوْمِنُوْنَ اَلَّدِيْنَ اِذَا ذُكِرِاللهُ وَجَلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اَيَتُهُ زَاِذَ تَهُمْ اِيْماَناً وَّعَلى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَلُوْنَ.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan
ayat-ayatnya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan
mereka bertawakal.
Sesungguhnya orang-orang beriman, ialah orang-orang
yang bila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat
Allah, bertambah imannya, sedang mereka itu bertawakkal kepada Allah.
Demikian Al-Asy’ari memberikan konsep iman dengan
mengatakan’’ Al-iman huwa Al-tasdiq bi Allah’’ (menerima sebagai benar
informasi tentang adanya Allah). Al-Bazdawi sebagai tokoh Almaturidiyah Bukhara mengatakan bahwa
iman adalah penerimaan dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada tuhan selain
Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan dia.[10]
Aliran Asy’ariyah, sebagai yang dijelaskan oleh
Asy’ari, menggunakan dalil naqli, yakni surah Ibrahim ayat 4, Surah As-Syu’ara ayat
195 dan Surah Ayat 17.
Ayat-ayat tersebut, menurut Asy’ari, menjelaskan
bahwa informasi tentang agama yang harus di imani itu, disampaikan lewat lisan
atau bahasa kaum tempat Rasul itu di utus serta dalam bahasa arab yang jelas.
Oleh sebab itu, lanjut Al-Asy’ari, iman berarti tasdiq atas apa yang di
turunkan dari Allah. Sementara itu penggalan ayat 17 surah Yusuf difahami oleh
Asy’ari dengan mengatakan adanya hubungan antara kata mu’min dan siddiqin. Oleh
sebab itu, demikian Asy’ari, iman adalah at-tasdiq bi al-qalb (pembenaran dengan
hati atas berita yang dibawa oleh Nabi dan dan Rasul). [11]
Sementara itu maturidiyah bukhara, sebagai yang
ditulis oleh bazdawi, juga menggunakan surah Yusuf ayat 17 sebagai dalil.
قَاُلوْا يَاَبَانَااِنَّاذَهَبْنَا
نَسْتَبِقُ وَتَرَكَنَا يُوْسُفَ عِنْدَ مَتَا عِناَ فَاَكَلَهُ الَذِّئْبُ,
وَمَااَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَّناَ وَلَوْكُنَّاصدِقِيْنَ.
Artinya: Mereka berkata, “Wahai ayah kami!
Sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat
barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau tentu tidak akan
percaya kepada
kami, sekalipun kami berkata benar.”
Ayat tersebut difahami Al-Bazdawi sebagai penjelasan
tentang iman adalah tasdiq, baik secara bahasa ataupun syariah.[12]
B.
Definisi Ilmu Pengetahuan
Secara etimologi ilmu berasal dari bahasa arab
(ilm) yang berarti mengetahui atau memahami. Menurut terminologi ilmu adalah
pengetahuan yang sistematis. Sedangkan secara umum ilmu merupakan kumpulan
proses kegiatan terhadap suatu kondisi dengan menggunakan berbagai cara, alat,
prosedur dan metode ilmiah lainnya untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah yang
analisis, objektif, empiris, sistematis dan verifikasi.
Secara
etimologi pengetahuan berasal dari bahasa inggris yaitu knowledge.
Dalam Encyclopedia
of philosophy di jelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan
yang benar (knowledgeis is justified true belief). Menurut Drs. Sidi
Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu.
Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan
pandai. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia
untuk tahu.[13]
C. Kesatuan Pengetahuan
Alam sebagai ciptaan Allah seakar kata dengan kata ‘ilm
dalam bahasa arab, yang terdiri dari tiga huruf (‘ain, lam dan
mim). Alam berjalan menurut hukum alam (natural law) yang berjalan secara pasti karena hal itu ditakdirkan oleh
Allah.[14] Sebenarnya manusia itu tidak punya pengetahuan sama sekali. Yang memiliki pengetahuan hanyalah Allah.
Lantas Allah mengeluarkan dua sumber pengetahuan yaitu Al-Qur’an dan Alam.
Dengan membaca Al-Qur’an manusia memperoleh bermacam-macam pengetahuan, dengan
membaca alam manusia juga memperoleh pengetahuan yang banyak.
Pengetahuan yang berasal dari Al-Qur’an itu tidak mungkin berlawanan dengan pengetahuan yang berasal
dari alam. Pengetahuan berasal dari Al-Qur’an adalah pengetahuan yang selalu benar, pengetahuan yang berasal dari
alam juga pengetahuan yang benar karena juga berasal dari yang selalu benar.
Tidak mungkin, Misalnya, pengetahuan dari Al-Qur’an mengatakan riba haram sementara
pengetahuan dari alam (dalam hal ini ilmu ekonomi) menyatakan riba boleh. Itu
tidak mungkin karena tidak ada pertentangan dalam pengetahuan tuhan.
Pengetahuan tuhan itu sangat banyak dan tidak satupun pengetahuannya itu yang
saling berlawanan.[15]
Dalam hubungan antara pengetahuan dan keyakinan adalah hubungan
“negasi-afirmasi”. Abd al-Jabbar dengan sangat baik mengartikulasi hal ini
dengan statement singkatnya, berikut ini:
وأدعلمنا ان الطم صداهوالاعتقاد الذى يتطق بنفي ما تطق العلم با ثباته,
ألوبإ ثبات ما تعلق العلم بنفيه, لأته قد ثبت امتتاع الجمع بينهماولاوجه إلااتضاد
Oleh karena
itu, pengetahuan dalam relasinya dengan keyakinan tidak terlepas dari dua
keadaan: (1) pengetahuan menegasikan apa yang oleh keyakinan diafirmasikan
karena pengetahuan tidak mengafirmasikannya, atau (2) pengetahuan
mengafirmasikan apa yang oleh keyakinan dinegasikan karena tuntutan pengetahuan
bahwa hal itu harus diafirmasikan. Terhadap keyakinan tentang objek tertentu,
pengetahuan tidak terlepas dari salah satunya. Namun, sebagai kerja terminologi keilmuan, negasi-afirmasi adalah dua hal yang
tidak terpisahkan (ada proses penyaringan oleh akal terhadap berbagai fenomena
untuk ditunjuk sebagai fakta dan data).[16]
D. Fungsi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan bekerja untuk mendorong manusia terus-menerus
berlomba mengambil manfaat dari manusia dan alam bagi kesejahteraan manusia
kini dan yang akan datang. Karena itu dalam dunia keilmuan manusia terbaik adalah manusia
yang menyiapkan diri untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada
sesamanya, Saling memanfaatkan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang di
kuasainya. Artinya tanpa penguasaan ilmu pengetahuan, seseorang atau suatu komunitas orang, hanya akan jadi objek/dimanfaatkan komunitas yang lain tanpa ia sendiri memperoleh manfaat
dari keadaan atau hal tersebut. Komunitas tanpa iptek bisa bebas dari objek pemanfaatan
komunitas beriptek, hanya bila komunitas beripteknya memiliki tauhid/berimtak.[17]
Karena itu
untuk mampu bertahan hidup dalam suasana global, manusia berimtek harus
berlomba memelihara dan mengembangkan iptek. Semakin tinggi dan banyak
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin besar peluang untuk hidup
memberi manfaat, sebaliknya semakin tidak menguasai iptek semakin hidupnya
kurang atau malah tidak memberi manfaat bagi manusia lainnya. Namun demikian,
realitas kehidupan manusia menunjukkan bahwa keluhuran manfaat ilmu itu tidak
selamanya memberikan kesejahteraan, baik dalam dimensi perorangan maupun dalam
dimensi kelompok atau malah Negara. Pada jaman sekarangpun tidak sedikit
kelompok masyarakat yang makmur secara materi lantaran memiliki kepintaran dalam suatu bidang profesi bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak, namun
hidupnya tidak sejahtera.[18]
E. Ilmu Dalam Dimensi Tauhid
Dalam
dimensi tauhid, kata ilmu di maksudkan untuk dua jenis. Pertama, ilmu wahyu dan
Kedua, hasil cipta karya manusia. Ilmu wahyu karena sumbernya dari Allah yang
hak, memiliki superioritas kebenaran. demikian menurut Izutsuyang di kutib
Abdurrahman Shalih Abdullah (1991:112) Sementara ilmu hasil manusia karena
proses pencarian dan penemuannya di batasi oleh keterbatasan kemampuan manusia,
maka tingkat kebenarannya berada di bawah ilmu wahyu,
sifatnya zhan. Sifat ilmu manusia ini mendorong dua kemungkinan. Pertama,
digunakan untuk hawa nafsu sesudah Nampak kebenaran dari Allah. Ilmu
demikian tidak akan berfungsi sebagai pelindung atau penyelamat pelakunya
(QS2:120). Kedua, dipakai untuk memperkuat keimanan tentang Allah
sebagai sumber segala hidup dan kehidupan manusia. Inilah sikap manusia yang
tergolong Ar Rasikhuna fi al-‘ilmi (ilmuan mumpuni).[19]
Ilmu
wahyu ini menurut Fazlur Rahman dalam
bukunya Tema pokok Al-Qur’an, memiliki sifat deskriptif yang sekaligus juga
preskriptif.[20]
Namun walau wahyu bersifat deskriptif, keakuratan deskripsinya dalam realitas
kehidupan tidak hanya terletak pada substansi wahyunya sendiri, namun juga
berkaitan dengan kemampuan manusia memahami ayat/ilmu wahyu tersebut. Namun
demikian wahyu dan ilham memiliki perbedaan yang sangat jauh pada tingkat
kebenarannya. Wahyu karena berasal dari Allah dan diterima Nabi atau Rasul,
memiliki mutu kebenaran mutlak, sementara ilham karena dimungkinkan datang dari malaikat dan syetan, dan diterima oleh manusia
biasa yang tidak dijamin kemampuan menangkap kebenaran, maka nilai kebenarannya
bersifat relative. Namun Dr. Mahdi Gulsyani (1988:95) menegaskan bahwa ilham-pun bersumber dari
Allah, hanya lantaran tingkat hubungan antara manusia dengan Allah yang
berbeda-beda maka kebenaran yang didapat-pun berbeda-beda, selain cara
mendapatkannya pun berbeda-beda. Sebagian orang cukup dengan perenungan (meditasi)
sedang sebagian lainnya melalui sedikit spekulasi.
F. Pengetahuan Dunia Eksternal
Di
kalangan Mutakallimun, sebagaimana dicatat Al-Asy’ari dalam Maqalat al-islamiyyin,
setidaknya terjadi polarisasi pendapat tentang kredibilitas pengetahuan
inderawi menjadi tiga belas pendapat, Mu’tazilah Baghdad, Al-iskafi, Abu
Al-Husayn ash-Shahih, dan Ahl an-Nazhar (pendukung nalar)
Menurut
‘Abd al-Jabbar, pengetahuan tentang dunia eksternal yang empiris dan sensual
merupakan pengetahuan yang tak terbantah. Istilah kunci yang digunakannya, mudrakat
(dari idrak), sebenarnya digunakan untuk objek-objek yang di
persepsi secara inderawi maupun secara rasional. Akan tetapi, mudrakat lebih
ditekankan pada objek-objek empiris sensual sehingga mencakup pengertian musyahadat
(objek-objek yang dilihat). Objek-objek empiris sensual (mudrakat),
sebagaimana dijelaskan dalam syarh, mencakup tujuh hal, yaitu: warna,
rasa, bau, rasa dingin, panas, rasa sakit, dan suara, yang semuanya menjadi
objek cerapan panca indera manusia. Hal ini dapat dipahami, antara lain, penekanannya pada hal-hal berikut: Pertama,
ketika membahas kesempurnaan akal (kamal al-‘aql) ‘Abd al-Jabbar
menekankan bahwa ilmu, menurutnya, harus dibangun dari pengetahuan tentang
realitas fisikal yang disebutnya sebagai “fondasi ilmu” (ashl li al-‘ilm).
Kedua, ketika menolak skeptisisme epistimologis yang menganggap fakta-fakta
empiris inderawi merupakan mimpi orang tidur yang tidak memiliki realitas atau
kebenaran, ‘Abd al-Jabbar memang menegaskan bahwa inderawi hanya bisa
melaporkan bahwa suatu objek ada seperti realitas objektifnya (‘ala ma’ huwa
‘alayh lidzatih), tidak memberikan keputusan apapun, yang sesungguhnya
kembali ke subjek. Ketiga, ketika mengkritik pandangan relativitas (ashhab
at-tajahul), dimana pandangan relativitasme berimplikasi pada penerimaan
prinsip “keserbabolehan” (at-tajwiz) bahwa apa yang dilihat sebagai
hitam mungkin menjadi putih, suatu pengandaian yang kontradiktif dengan
kenyataan. ‘Abd al-Jabbar berargumen bahwa keyakinan subjek tidak akan
berpengaruh terhadap keadaan objek.
Persepsi
sebagai pengalaman manusia dan sebagai sumber pengetahuan dapat di klasifisikan
kepada dua kategori:(1) persepsi terhadap fakta-fakta dunia eksternal, dimana
data materiil di persepsi dengan panca indera, dan (2) persepsi internal
manusia “menemukan dirinya” (wajad nafsah) dalam istilah ‘Abd al-Jabbar,
atau persepsi introspektifdalam istilah Hourani. berbeda dengan yang pertama, kategori
kedua merupakan tahap awal pengetahuan rasional dari dalam diri manusia.
Karena
terjadi interrelasi keduanya, disini dikemukakan pemberian kategori kedua secara singkat. ‘Abd al-Jabbar
menganggap persepsi introspektif sebagai evindensi paling jelas bagi kebenaran
pengetahuan. Setiap manusia memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan
melalui pengalamannya sendiri. Contoh-contoh sederhana yang dikemukakan adalah
bahwa kita memiliki kemampuan untuk bertindak; bahwa jiwa kita dalam keadaan
puas (sakun an-nafs), “berfikir merupakan observasi terhadap keadaan
objek komparasi antara objek tersebut dengan objek lain, atau komprasi antara
suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain”, dan bahwa nalarberbeda dengan
keadaan (ahwal) pikiran lainnya, misalnya perbedaan antara keyakinan dan
kehendak. Atas dasar ini, persepsi introspektif sebenarnya merupakan upaya
memfungsikan ‘aql untuk menyerapkan data pengalaman internal sehingga
terjadi proses pemilahan dan perbandingan.
G. Hubungan Antara
Iman Dan Ilmu Pengetahuan
Dalam islam, antara iman dan
ilmu terdapat hubungan yang terintegrasi kedalam agama islam. Islam adalah agama yang mengatur sistem
kehidupan. Dalam agama islam iman dan ilmu pengetahuan termasuk ruang lingkup
tersebut. Iman berorientasi terhadap rukun iman yang enam, sedangkan ilmu
berorientasi pada rukun islam yaitu tentang tata cara ibadah dan pengamalannya.
Iman
dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang saling berkaitan dan mutlak adanya.
Dengan ilmu, keimanan kita akan lebih mantap. Sebaliknya dengan iman orang yang
berilmu dapat terkontrol dari sifat sombong dan menggunakan ilmunya untuk
kepentingan pribadi bahkan untuk membuat kerusakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan masalah keimanan dalam Ilmu Tauhid juga
menyangkut apakah imam seseorang dapat bertambah atau sebaliknya. Dalam ini ada
dua golongan yang menyatakan pendapatnya yaitu: (1) mereka yang mengatakan
bahwa iman seseorang itu tidak dapat bertambah atau berkurang, (2) golongan
yang mengatakan bahwa iman seseorang itu dapat bertambah atau berkurang.
Pengetahuan yang berasal dari Al-Qur’an itu tidak mungkin berlawanan dengan pengetahuan yang
berasal dari alam. Pengetahuan berasal dari Al-Qur’an adalah pengetahuan
yang selalu benar, pengetahuan yang
berasal dari alam juga pengetahuan yang benar karena juga berasal dari yang
selalu benar.
Ilmu pengetahuan bekerja untuk mendorong manusia terus-menerus
berlomba mengambil manfaat dari manusia dan alam bagi kesejahteraan manusia
kini dan yang akan datang. Karena itu
dalam dunia dalam dunia keilmuan manusia terbaik adalah manusia yang menyiapkan diri untuk
memberikan manfaat sebanyak-banyaknya pada sesamanya, Saling memanfaatkan
sesuai dengan ilmu pengetahuan yang di kuasainya. Artinya tanpa penguasaan ilmu
pengetahuan, seseorang atau suatu komunitas orang, halnya akan jadi objek/dimanfaatkan komunitas yang lain tanpa ia sendiri memperoleh manfaat
dari keadaan atau hal tersebut.
Iman dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal
yang saling berkaitan dan mutlak adanya. Dengan ilmu, keimanan kita akan lebih
mantap. Sebaliknya dengan iman orang yang berilmu dapat terkontrol dari sifat
sombong dan menggunakan ilmunya untuk kepentingan pribadi bahkan untuk membuat
kerusakan.
B. Kritikan & Saran
Kami menyadari bahwa dengan segala
keterbatasan yang kami miliki, maka kami mengharap atas kritikan dan saran para
pakar dibidang menulis lebih-lebih terhadap Bapak Ibu Masyithah Maghfirah Rizam
S.S., M.Pd. selaku pemegang atau yang diberikan tugas makalah ini atas
partisipasinya. Itu semua demi untuk mengembangkan kemampuan yang ada pada diri kami
yang selama ini terpendam. Dan menjadi bahan acuan agar kami bisa
memperbaikinya dikemudian hari atau esok hari.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, Muhammad dan Abd, Maman, dkk. Tauhid
Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Mahmud, Latief. Ilmu Kalam. Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006.
Riyadi, Hendar. Tauhid Ilmu Dan
Implementasinya Dalam Pendidikan. Bandung: Nuansa, 2000.
Yusuf, Yunan. Alam Pikiran Islam
Pemikiran Kalam. Jakarta:Kencana, 2014.
[2]
Drs.H.Latief Mahmud,M.Ag,Ilmu Kalam,(Pamekasan:Stain Pamekasan
Press,2006),hlm.12.
[4]
Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam pikiran islam
pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.118.
[9]
Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam pikiran islam
pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.121
[10] Ibid.,hlm.122.
[11] Ibid,.ahlm.123.
[12] Prof.dr.M.Yunan yusuf,alam pikiran
islam pemikiran kalam,(jakarta:kencana,2014),hlm.123.
[15] Hendar Riyadi,dkk Tauhid Ilmu Dan Implementasinya
Dalam Pendidikan, (Bandung:Nuansa,2000),Hlm. 54
[16]
Ibid,.Hlm.55.
[17]Hendar Riyadi,dkk Tauhid Ilmu Dan Implementasinya
Dalam Pendidikan, (Bandung:Nuansa,2000),Hlm.63.
0 Komentar untuk "IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN"