ca-app-pub-7044437663567666/2222590119

Click Here. Get Money

Tafsir Tarbawi





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Semoga Allah meridhai dan meridhakannya setiap kali kau lawan nafsu, dan kau kalahkan, lantas kau bunuh ia dengan pedang perlawanan, maka Allah akan menghidupkannya lagi. Ia pun akan menantangmu kembali dan menuntut pemuasan syahwat dan kelezatan lagi darimu, baik yang di haramkan maupun yang di halalkan, hingga kau berupaya lagi untuk berjuang (mujahadah) dan bergiat memupusnya hingga di tulislah pahala abadi bagimu.[1]
Ketika seorang hamba telah lebur binasa dari makhluk ciptaan, hawa nafsu, kehendak akan dunia akhirat; Dia tidak berkehendak kecuali menuruti kehendak Allah ‘Azza Wa  Jalla, dan segala sesuatupun telah sirna dari dalam hatinya, maka ia telah sampai pada al-Haqq ‘Azza Wa Jalla di pilih dan di tunjuknya, di cintainya sekaligus di cintakan pada makhluk ciptaannya.[2]
Seorang bijak berkata “Barang siapa di kuasai oleh nafsunya, ia menjadi tawanan di dalam mencintai nafsu syahwat dan terpenjara di dalam penjara hawa nafsu. Kalbunya tercegah dari memperoleh hikmah. Barang siapa menyirami anggota tubuhnya dengan syahwat, ia telah menanam pohon penyesalan di dalam kalbunya.”[3] 
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana definisi hawa nafsu?
2.    Bagaimana hawa nafsu sebagai ancaman?
3.    Bagaimana berjuang melawan hawa nafsu?
C.      Tujuan Penulisan
1.    Menjelaskan definisi hawa nafsu.
2.    Menjelaskan hawa nafsu sebagai ancaman.
3.    Menjelaskan berjuang melawan hawa nafsu.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Hawa Nafsu
Hawa nafsu terdiri dari dua perkataan hawa (الهوى) yang berarti: sangat cinta, kehendak, dan nafsu (النفس) yang berarti: jiwa, tubuh, diri seseorang, selera dan usaha. Sehingga nafsu bermakna keinginan, kecenderungan atau hati yang kuat. Jika di tambah dengan perkataan hawa nafsu berarti dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik.
Menurut hadits shahih dibawah ini sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ ذَرَّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ الله صلّى الله عَلَيْه وَسلّمَ قاَلَ: اِتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنَةٍ. (رواه الترمذى وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح).
Artinya: Dari Abu Zar, Jundub bin junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’Az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam beliau bersabda : Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik. (Riwayat Turmuzi. dia berkata hadistnya hasan, pada sebagian cetakan dikatakan hasan shahih).
Kandungan hadist:
1.      Takwa  kepada Allah merupakan kewajiban setiap muslim dan dia merupakan asas diterimanya amal shalih.
2.      Bersegera melakukan ketaatan setelah keburukan secara langsung, karena kebaikan akan mengahapus keburukan.
3.      Bersungguh-sungguh menghias diri dengan akhlak mulia.
4.      Menjaga pergaulan yang baik merupakan kunci kesuksesan, kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan di akhirat. Hal tersebut dapat menghilangkan dampak negatif pergaulan.
Memperturuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan, akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang di dapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat di kendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang.
Sakit batin yang disebabkan hawa nafsu merupakan sebab minimal seseorang untuk terjerumus ke dalam berbagai fitnah. Dengan kata lain, orang yang selalu ingin melakukan maksiat, sebenarnya batinnya sedang terserang oleh  penyakit  hawa nafsu. Sekiranya memiliki batin sehat, tentu ia akan memiliki sifat-sifat suci, bersih, dan takwa.[4]
(#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& öNä3ŠÏù tAqßu «!$# 4 öqs9 ö/ä3ãèÏÜムÎû 9ŽÏWx. z`ÏiB ͐öDF{$# ÷LêÏYyès9 £`Å3»s9ur ©!$# |=¬7ym ãNä3øs9Î) z`»yJƒM}$# ¼çmuZ­ƒyur Îû ö/ä3Î/qè=è% on§x.ur ãNä3øs9Î) tøÿä3ø9$# s-qÝ¡àÿø9$#ur tb$uŠóÁÏèø9$#ur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcrßÏ©º§9$# ÇÐÈ  
Artinya: Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.[5]
B.     Hawa Nafsu Sebagai Ancaman
Ancaman lain terhadap keimanan adalah “hawa nafsu”, yang selalu dijadikan alat oleh syetan dalam merusak keimanan manusia. Oleh karena itu berulang-ulang Allah mengingatkan manusia agar jangan mudah mengikuti ajakan hawa nafsu, dan mempunyai keberdayaan mengendalikan hawa nafsunya, seperti firman Allah surah (shaad: 26):
Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$#
Artinya: Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu[6]
Hawa nafsu manusia kerapkali memanipulasi amal perbuatan dengan cara-cara yang dapat mendistruksi (menghancurkan) nilai amal itu sendiri, seperti kemunafikan, riya’ (niat pamer), ketamakan, kesombongan, dan lain sebagainya. Banyak amal perbuatan yang penampilan lahirnya seperti amal saleh, tetapi tidak memperoleh nilai kebaikan apa-apa gara-gara niatnya salah. Banyak juga orang yang penampilannya seperti mu’min tetapi dalam penilaian Tuhan dia adalah kafir karena hatinya menyimpan keyakinan dan maksud lain.[7]
C.    Berjuang Melawan Hawa Nafsu
Sesungguhnya tiada sesuatu, kecuali hanya Allah, sedangkan nafsu dirimu dan kamu adalah mukhathab (objek penerima). Nafsu adalah pembangkang Allah dan musuh-Nya. Segala sesuatu adalah bawahan yang tunduk kepada Allah, begitu pula nafsu secara penciptaan dan kepemilikan hakiki. Nafsu memiliki (sifat) suka mengklaim, berharap muluk-muluk, mengandung birahi dan kenikmatan menurutinya. 
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى عليه وسلم: اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ، أَحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْئٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَاوَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَاللهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ. (رواه مسلم).
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Orang mukmin yang mampu berjuang dengan mencurahkan segala potensi/hak miliknya demi tegak kokoh agama, adalah lebih unggul dan lebih disenangi Allah, dibandingkan dengan mukmin yang lemah, dan setiapnya punya kebaikan. Bersemangatlah dalam berkarya (beramal) untuk kebahagiaanmu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah, jangan lemah diri. Dan jika musibah menimpa dirimu, tidak perlu beranggapan/jangan kau katakan: “Kalau aku berbuat  demikian, pasti tidak sampai terjadi begini, dan seterusnya.” Tetapi alangkah terpuji-nya, menyatakan: “Semua itu sudah ditentukan oleh Allah, Dia berbuat menurut kehendak-Nya,” Ketahuilah ucapan “kalau/seandainya dan lain-lain yang sejenis dengannya hanya memberi kesempatan syetan untuk beroperasi.” (HR.Muslim).
Jika kau mengikuti al-Haqq ‘Azza wa Jalla untuk melawan nafsu dan memusuhinya, maka kau berada di pihak Allah dan menjadi musuh nafsu sebagaimana firman Allah kepada Nabi Dawud As: “Wahai Dawud, penghambaan adalah kau sepenuhnya di pihak-Ku dan menjadi musuh atas nafsu dirimu sendiri.” Saat itulah, baru berwujud kesetiaanmu kepada Allah dan penghambaanmu  kepada-Nya, lalu akan di datangkanlah kepadamu segala bagian dengan penuh aroma kelezatan dan engkau merasa terhormat dan termuliakan. Segala sesuatu akan melayanimu, juga terhormati dan menjung-jungmu, sebab mereka semua adalah bawahan yang tunduk pada Tuhannya ‘Azza wa Jalla, senantiasa mengikuti-nya, karena memang dia adalah pencipta dan pengada mereka (dari ketiadaan), sementara mereka menyatakan penghambaan penuh pada-Nya.
Allah berfirman:
ߊ¼ãr#y»tƒ $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãŠsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒtƒ `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7ƒÏx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqtƒ É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ  
Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.[8]
Dia juga berfirman pada nabi Dawud: “Tinggalkanlah hawa nafsumu, sesungguhnya tak ada perusuh yang menentang-Ku di seluruh kerajaan-Ku kecuali hawa (nafsu).”
 Sama halnya dengan hadits dibawah ini:
عَنِ ابْنِ عَبَاسٍ  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى عليه وسلم: وَنِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ. (رواح البخارى).
Artinya: Dari Ibnu Abbas Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Ada dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh umumnya masyarakat, yaitu kesehatan fisik dan waktu luang/kesempatan memperbanyak amal ibadah.” (HR.Bukhari).
Ada pula sebuah hikayat terkenal tentang Abu Yazid al-Bustami Ra. Konon, saat bermimpi melihat Rabb al-‘Izzah (Allah) ia bertanya kepada-Nya: “Bagaimana jalan menuju-Mu, wahai Bara Khudaya?” Dia menjawab, “Tinggalkan hawa nafsu dirimu dan kemarilah!” Abu Yazid pun lantas berturtur: “Serta merta aku keluar (melongsong) dari badannya.”
Jadi,  jelas sudah bahwa kebijakan terletak dalam sikap memusuhi nafsu diri secara umum dalam segala kondisi. Ketika kau berada dalam kondisi taqwa, maka lawanlah nafsumu dengan keluar dari hal-hal yang haram dan syubhat atas makhluk, juga kemurahan-kemurahan atas mereka, kepasrahan diri dan keyakinan pada mereka, ketakutan dan mengharap sesuatu pada mereka, serta ketamakan untuk memiliki rongsokan-rongsokan dunia yang mereka miliki. Kau pun tidak lagi mengharap pemberian mereka lagi atas dasar hadiah, zakat, sadaqah, kafarah, atau pembayaran denda nazar.
Sesuai dengan hadits:
عَنْ اَنَسٍ عَنِ النَّبِيْ صلى عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّوَجَلّ قَلَ: إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ اِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِذَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وَإِذَا اَتَانِى يَمْشِيْ اَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً. (رواه البخاري).
Artinya: Dari Anas, Nabi Shallallhu’alaihi wasallam bersabda: Allah ‘Azza wajalla telah menyatakan: “Ketika seseorang mendekatkan diri kepadaKu sejengkal, maka sehasta ia dekat padaku, dan ketika ia mendekatkan diri kepadaKu sehasta, maka sedepa ia dekat padaKu, dan ketika datang padaKu berjalan, maka datangKu padanya lebih cepat.” (HR.Bukhari).
Dan jika kau dapati penghalalan di dalam Kitab dan Sunnah atas ilham tersebut seperti hasrat-hasrat yang di perbolehkan barupa nafsu makan, minum, berpakaian, nikah, maka jauhkanlah pikiran tersebut dari dalam dirimu dan jangan sekali-kali kau terima begitu saja. Ketahuilah bahwa hal itu merupakan ilham nafsu dan syahwat kesenangannya. Dan kamu di perintahkan untuk menentang dan memusuhi nafsu.
Lalu jika kau dapati pengharaman atau penghalalan tersebut di dalam Kitab dan Sunnah, akan tetapi keinginan tersebut berupa sesuatu yang tidak kau pikirkan, seperti keinginan ‘datanglah ke tempat ini’, atau ‘jumpailah si polan’, namun kau di dalam hal ini tidak membutuhkannya, juga tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagimu kau sudah merasa cukup dengan anugrah kenikmatan yang telah di limpahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepadamu berupa ilmu pengetahuan, maka ambil sikap tidak memilih dan jangan terburu melakukannya.
Jika kau berada dalam status hakikat, yaitu status kewalian, maka lawanlah nafsumu dan ikutlah perintah secara umum. Pelaksanaan perintah itu bisa di lakukan dengan dua pola:
Pertama, ambil bagian duniawimu sebatas qut (kebutuhan untuk menyambung hidup) yang sudah merupakan hak nafsu, lalu tinggalkan bagian yang lain dan laksanakan kewajiban. Sibukkan diri dengan meninggalkan dosa, baik yang tampak maupun yang samar.
Kedua,  terkait dengan perintah tersembunyi (amr batin), yatu perintah al-Haqq ‘Azza wa Jalla yang bukan berwujud perintah (atas sesuatu yang wajib) dan larangan (atas sesuatu yang haram). Akan tetapi, perintah ini terbentuk dalam hal mubah yang tidak memiliki ketentuan hukum dalam syariah, dengan kata lain ia tidak termasuk ‘larangan’, juga ‘perintah’ wajib, melainkan di serahkan pada hamba untuk bertindak di dalamnyaatas kehendak sendiri. Hal ini di sebut mubah.[9]
Dalam menyikapi hal yang demikian, seorang hamba tidak boleh terburu-buru melakukan sesuatu terhadapnya, melainkan harus menunggu perintah. Baru jika sudah di perintahkan, ia boleh melaksanakannya. Sehingga seluruh gerak dan diamnya pun di sebabkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى عليه وسلم قَالَ: حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ (متفق عليه)

Artinya: “Pintu Neraka ditutup dengan aneka keinginan nafsu seseorang, dan pintu akan membuka/terbuka bagi yang melampiaskan keinginan nafsunya di luar ketentuan/batas islam. Dan surga ditutupi dengan segala bentuk kebencian nafsu seseorang dalam menjalankan takwa, dalam mematuhi hukum dan melaksanakan ajaran Islam, dan pintu surga itu tidak dibuka kecuali dengan mujahadah yakni menyingkirkan segala bentuk kebencian nafsu tersebut. (HR. Bukhari Muslim).
Jika memang ada ketentuan hukumnya dalam syariah, maka ia harus memegang syariah. Dan jika tetap tidak ada ketentuan dalam syariah, maka boleh bertindak atas dasar perintah-perintah tersembunyi. Jika sudah demikian halnya, maka ia pun menjadi kalangan ahli hakikat. Lalu jika tetap tidak ada perintah batin di dalamnya juga, maka itu hanyalah tindakan berstatus penyerahan diri (taslim).
            عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى عليه وسلم إِنّ اللهَ تَعَالَى قال: مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ اَذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْئٍ اَحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِلنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبّهُ فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعُهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُبِهِ وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِى لَاُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لَاُعِيْذَنَّهُ (رواه البخارى).
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Sungguh Allah telah menyatakan barang siapa yang menentang  kekasihku, maka Aku-lah yang memeranginya. Tiada seorang hamba memperdekat diri kepada-Ku dengan amal ibadah sunah yang sangat kusenangi, sesudah memenuhi kewajibannya, sehingga aku mengasihinya. dan ketika aku sudah kasihan kepadanya maka Aku-lah sebagai pendengaran dan penglihatannya, serta sebagai tangan yang dipergunakan dan kaki yang dilakukan olehnya. Dan jika ia memohon pasti dikabulkan dan jika memohon perlindungan pasti dilindungi.” (HR.Bukhari).


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hawa nafsu terdiri dari dua perkataan hawa (الهوى) yang berarti: sangat cinta, kehendak, dan nafsu (النفس) yang berarati: jiwa, tubuh, diri seseorang, selera dan usaha. Sehingga nafsu bermakna keinginan, kecenderungan atau hati yang kuat. Jika di tambah dengan perkataan hawa nafsu berarti dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik.
Hawa nafsu manusia kerapkali memanipulasi amal perbuatan dengan cara-cara yang dapat mendistruksi (menghancurkan) nilai amal itu sendiri, seperti kemunafikan, riya’ (niat pamer), ketamakan, kesombongan, dan lain sebagainya. Banyak amal perbuatan yang penampilan lahirnya seperti amal saleh, tetapi tidak memperoleh nilai kebaikan apa-apa gara-gara niatnya salah. Banyak juga orang yang penampilannya seperti mu’min tetapi dalam penilaian Tuhan dia adalah kafir karena hatinya menyimpan keyakinan dan maksud lain.
Jika kau mengikuti al-Haqq ‘Azza wa Jalla untuk melawan nafsu dan memusuhinya, maka kau berada di pihak Allah dan menjadi musuh nafsu sebagaimana firman Allah kepada Nabi Dawud As: “Wahai Dawud, penghambaan adalah kau sepenuhnya di pihak-Ku dan menjadi musuh atas nafsu dirimu sendiri.” Saat itulah, baru berwujud kesetiaanmu kepada Allah dan penghambaanmu  kepada-Nya, lalu akan di datangkanlah kepadamu segala bagian dengan penuh aroma kelezatan dan engkau merasa terhormat dan termuliakan. Segala sesuatu akan melayanimu, juga terhormati dan menjung-jungmu, sebab mereka semua adalah bawahan yang tunduk pada Tuhannya ‘Azza wa Jalla, senantiasa mengikuti-nya, karena memang dia adalah pencipta dan pengada mereka (dari ketiadaan), sementara mereka menyatakan penghambaan penuh pada-Nya.






B.     Kritik & Saran
Kami menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang kami miliki, maka kami mengharap atas kritikan dan saran para pakar dibidang menulis lebih-lebih terhadap Bapak Delta Yaumin Nahri, Lc., M. Th. I selaku pemegang atau yang diberikan tugas makalah ini atas partisipasinya. Itu semua demi untuk mengembangkan kemampuan yang ada pada diri kami yang selama ini terpendam. Dan menjadi bahan acuan agar kami bisa memperbaikinya dikemudian hari atau esok hari.



















DAFTAR RUJUKAN
Al-Ghazali, Imam. Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1999.
Al-Jailani, Qadir Abdul. Adab As-Suluk Wa At-Tawassul Ila Manazil Al-Muluk, Jogjakarta: DIVA Press, 2010.
Dahlan, Rahman Abd. Kaidah Kaidah Tafsir, Jakarta: AMZAH, 2014.
Hasan, Tholhah Muhammad. Apabila Iman Tetap Bertahan, Jakarta: Diva Pustaka, 2007.
Terjemahan al-Qur’an (Departemen Agama).


[1] Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Adab As-Suluk Wa at-Tawassul Ila Manazil al-Muluk, (Jogjakarta: Diva Press, 2010), hlm. 246.
[2] Ibid.. 212.
[3] Imam al-Ghazali, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 110.
[4] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah Kaidah Tafsir, (Jakarta: AMZAH, 2014), hlm, 269
[5] Terjemahan al-Qur’an (Departemen Agama)
[6] Terjemahan al-Qur’an (Departemen Agama)
[7] Muhammad Tholhah Hasan, Apabila Iman Tetap Bertahan, (Jakarta: Diva Pustaka, 2007), hlm, 98-99.
[8] Terjemahan al-Qur’an (Departemen Agama)
[9] Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Adab As-Suluk Wa At-Tawassul Ila Manazil Al-Muluk, hlm. 60.

0 Komentar untuk "Tafsir Tarbawi"

Easy Get Money

Entri Populer

Back To Top