PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semoga
Allah meridhai dan meridhakannya setiap kali kau lawan nafsu, dan kau kalahkan,
lantas kau bunuh ia dengan pedang perlawanan, maka Allah akan menghidupkannya
lagi. Ia pun akan menantangmu kembali dan menuntut pemuasan syahwat dan
kelezatan lagi darimu, baik yang di haramkan maupun yang di halalkan, hingga
kau berupaya lagi untuk berjuang (mujahadah) dan bergiat memupusnya
hingga di tulislah pahala abadi bagimu.[1]
Ketika
seorang hamba telah lebur binasa dari makhluk ciptaan, hawa nafsu, kehendak
akan dunia akhirat; Dia tidak berkehendak kecuali menuruti kehendak Allah ‘Azza
Wa Jalla, dan segala sesuatupun
telah sirna dari dalam hatinya, maka ia telah sampai pada al-Haqq ‘Azza Wa
Jalla di pilih dan di tunjuknya, di cintainya sekaligus di cintakan pada
makhluk ciptaannya.[2]
Seorang
bijak berkata “Barang siapa di kuasai oleh nafsunya, ia menjadi tawanan di
dalam mencintai nafsu syahwat dan terpenjara di dalam penjara hawa nafsu.
Kalbunya tercegah dari memperoleh hikmah. Barang siapa menyirami anggota
tubuhnya dengan syahwat, ia telah menanam pohon penyesalan di dalam kalbunya.”[3]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
definisi hawa nafsu?
2.
Bagaimana
hawa nafsu sebagai ancaman?
3.
Bagaimana
berjuang melawan hawa nafsu?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
definisi hawa nafsu.
2.
Menjelaskan
hawa nafsu sebagai ancaman.
3.
Menjelaskan
berjuang melawan hawa nafsu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hawa Nafsu
Hawa
nafsu terdiri dari dua perkataan hawa (الهوى) yang berarti: sangat cinta, kehendak, dan
nafsu (النفس)
yang berarti: jiwa, tubuh, diri seseorang, selera dan usaha. Sehingga nafsu
bermakna keinginan, kecenderungan atau hati yang kuat. Jika di tambah dengan
perkataan hawa nafsu berarti dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara
yang tidak baik.
Menurut
hadits shahih dibawah ini sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ ذَرَّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ
الرَّحْمَنِ مُعَاذِبْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ الله صلّى
الله عَلَيْه وَسلّمَ قاَلَ: اِتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ
السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنَةٍ. (رواه
الترمذى وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح).
Artinya: Dari Abu Zar, Jundub bin
junadah dan Abu Abdurrahman, Mu’Az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam beliau bersabda : Bertakwalah kepada Allah dimana
saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan
pergauilah manusia dengan akhlak yang baik. (Riwayat Turmuzi. dia berkata
hadistnya hasan, pada sebagian cetakan dikatakan hasan shahih).
Kandungan
hadist:
1.
Takwa kepada Allah merupakan kewajiban setiap
muslim dan dia merupakan asas diterimanya amal shalih.
2.
Bersegera
melakukan ketaatan setelah keburukan secara langsung, karena kebaikan akan
mengahapus keburukan.
3.
Bersungguh-sungguh
menghias diri dengan akhlak mulia.
4.
Menjaga
pergaulan yang baik merupakan kunci kesuksesan, kebahagiaan dan ketenangan di
dunia dan di akhirat. Hal tersebut dapat menghilangkan dampak negatif
pergaulan.
Memperturuti
hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan, akibat pemuasan nafsu jauh
lebih mahal ketimbang kenikmatan yang di dapat darinya. Hawa nafsu yang tidak
dapat di kendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang.
Sakit batin yang disebabkan hawa nafsu merupakan sebab minimal
seseorang untuk terjerumus ke dalam berbagai fitnah. Dengan kata lain,
orang yang selalu ingin melakukan maksiat, sebenarnya batinnya sedang terserang
oleh penyakit hawa nafsu. Sekiranya memiliki batin sehat,
tentu ia akan memiliki sifat-sifat suci, bersih, dan takwa.[4]
(#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& öNä3Ïù tAqßu «!$# 4 öqs9 ö/ä3ãèÏÜã Îû 9ÏWx. z`ÏiB ÍöDF{$# ÷LêÏYyès9 £`Å3»s9ur ©!$# |=¬7ym ãNä3øs9Î) z`»yJM}$# ¼çmuZyur Îû ö/ä3Î/qè=è% on§x.ur ãNä3øs9Î) tøÿä3ø9$# s-qÝ¡àÿø9$#ur tb$uóÁÏèø9$#ur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd crßÏ©º§9$# ÇÐÈ
Artinya: Dan
ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti
kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi
Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah
di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan
kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.[5]
B.
Hawa Nafsu Sebagai Ancaman
Ancaman
lain terhadap keimanan adalah “hawa nafsu”, yang selalu dijadikan alat oleh
syetan dalam merusak keimanan manusia. Oleh karena itu berulang-ulang Allah
mengingatkan manusia agar jangan mudah mengikuti ajakan hawa nafsu, dan
mempunyai keberdayaan mengendalikan hawa nafsunya, seperti firman Allah
surah (shaad: 26):
wur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$#
Artinya: Janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu[6]
Hawa nafsu manusia kerapkali memanipulasi amal perbuatan dengan cara-cara
yang dapat mendistruksi (menghancurkan) nilai amal itu sendiri, seperti kemunafikan,
riya’ (niat pamer), ketamakan, kesombongan, dan lain sebagainya. Banyak amal
perbuatan yang penampilan lahirnya seperti amal saleh, tetapi tidak memperoleh
nilai kebaikan apa-apa gara-gara niatnya salah. Banyak juga orang yang
penampilannya seperti mu’min tetapi dalam penilaian Tuhan dia adalah kafir
karena hatinya menyimpan keyakinan dan maksud lain.[7]
C.
Berjuang Melawan Hawa Nafsu
Sesungguhnya tiada sesuatu, kecuali hanya Allah, sedangkan nafsu
dirimu dan kamu adalah mukhathab (objek penerima). Nafsu adalah
pembangkang Allah dan musuh-Nya. Segala sesuatu adalah bawahan yang tunduk
kepada Allah, begitu pula nafsu secara penciptaan dan kepemilikan hakiki. Nafsu
memiliki (sifat) suka mengklaim, berharap muluk-muluk, mengandung birahi dan
kenikmatan menurutinya.
عَنْ اَبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى عليه وسلم: اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ
وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ،
أَحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجِزْ، وَإِنْ
أَصَابَكَ شَيْئٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَاوَكَذَا،
وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَاللهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
(رواه مسلم).
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda: “Orang mukmin yang mampu berjuang dengan mencurahkan segala
potensi/hak miliknya demi tegak kokoh agama, adalah lebih unggul dan lebih
disenangi Allah, dibandingkan dengan mukmin yang lemah, dan setiapnya punya
kebaikan. Bersemangatlah dalam berkarya (beramal) untuk kebahagiaanmu, dan
mohonlah pertolongan kepada Allah, jangan lemah diri. Dan jika musibah menimpa
dirimu, tidak perlu beranggapan/jangan kau katakan: “Kalau aku berbuat demikian, pasti tidak sampai terjadi begini,
dan seterusnya.” Tetapi alangkah terpuji-nya, menyatakan: “Semua itu sudah
ditentukan oleh Allah, Dia berbuat menurut kehendak-Nya,” Ketahuilah ucapan
“kalau/seandainya dan lain-lain yang sejenis dengannya hanya memberi kesempatan
syetan untuk beroperasi.” (HR.Muslim).
Jika kau mengikuti al-Haqq ‘Azza wa Jalla untuk melawan
nafsu dan memusuhinya, maka kau berada di pihak Allah dan menjadi musuh nafsu
sebagaimana firman Allah kepada Nabi Dawud As: “Wahai Dawud, penghambaan adalah
kau sepenuhnya di pihak-Ku dan menjadi musuh atas nafsu dirimu sendiri.” Saat
itulah, baru berwujud kesetiaanmu kepada Allah dan penghambaanmu kepada-Nya, lalu akan di datangkanlah kepadamu
segala bagian dengan penuh aroma kelezatan dan engkau merasa terhormat dan
termuliakan. Segala sesuatu akan melayanimu, juga terhormati dan menjung-jungmu,
sebab mereka semua adalah bawahan yang tunduk pada Tuhannya ‘Azza wa Jalla, senantiasa
mengikuti-nya, karena memang dia adalah pencipta dan pengada mereka (dari
ketiadaan), sementara mereka menyatakan penghambaan penuh pada-Nya.
Allah berfirman:
ß¼ãr#y»t $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ wur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒt `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7Ïx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqt É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ
Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya
Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.[8]
Dia
juga berfirman pada nabi Dawud: “Tinggalkanlah hawa nafsumu, sesungguhnya
tak ada perusuh yang menentang-Ku di seluruh kerajaan-Ku kecuali hawa (nafsu).”
Sama halnya dengan hadits dibawah ini:
عَنِ ابْنِ عَبَاسٍ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى عليه وسلم: وَنِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ
الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ. (رواح البخارى).
Artinya: Dari Ibnu Abbas Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda: “Ada dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh umumnya masyarakat,
yaitu kesehatan fisik dan waktu luang/kesempatan memperbanyak amal ibadah.”
(HR.Bukhari).
Ada
pula sebuah hikayat terkenal tentang Abu Yazid al-Bustami Ra. Konon, saat bermimpi
melihat Rabb al-‘Izzah (Allah) ia bertanya kepada-Nya: “Bagaimana jalan
menuju-Mu, wahai Bara Khudaya?” Dia menjawab, “Tinggalkan hawa nafsu
dirimu dan kemarilah!” Abu Yazid pun lantas berturtur: “Serta merta aku keluar
(melongsong) dari badannya.”
Jadi, jelas sudah bahwa kebijakan terletak dalam
sikap memusuhi nafsu diri secara umum dalam segala kondisi. Ketika kau berada
dalam kondisi taqwa, maka lawanlah nafsumu dengan keluar dari hal-hal yang
haram dan syubhat atas makhluk, juga kemurahan-kemurahan atas mereka,
kepasrahan diri dan keyakinan pada mereka, ketakutan dan mengharap sesuatu pada
mereka, serta ketamakan untuk memiliki rongsokan-rongsokan dunia yang mereka
miliki. Kau pun tidak lagi mengharap pemberian mereka lagi atas dasar hadiah,
zakat, sadaqah, kafarah, atau pembayaran denda nazar.
Sesuai
dengan hadits:
عَنْ اَنَسٍ عَنِ النَّبِيْ صلى عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ
عَزَّوَجَلّ قَلَ: إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ اِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ
إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِذَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ
بَاعًا، وَإِذَا اَتَانِى يَمْشِيْ اَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً. (رواه البخاري).
Artinya: Dari Anas, Nabi Shallallhu’alaihi wasallam bersabda: Allah
‘Azza wajalla telah menyatakan: “Ketika seseorang mendekatkan diri kepadaKu
sejengkal, maka sehasta ia dekat padaku, dan ketika ia mendekatkan diri
kepadaKu sehasta, maka sedepa ia dekat padaKu, dan ketika datang padaKu
berjalan, maka datangKu padanya lebih cepat.” (HR.Bukhari).
Dan
jika kau dapati penghalalan di dalam Kitab dan Sunnah atas ilham tersebut
seperti hasrat-hasrat yang di perbolehkan barupa nafsu makan, minum,
berpakaian, nikah, maka jauhkanlah pikiran tersebut dari dalam dirimu dan
jangan sekali-kali kau terima begitu saja. Ketahuilah bahwa hal itu merupakan
ilham nafsu dan syahwat kesenangannya. Dan kamu di perintahkan untuk menentang
dan memusuhi nafsu.
Lalu
jika kau dapati pengharaman atau penghalalan tersebut di dalam Kitab dan
Sunnah, akan tetapi keinginan tersebut berupa sesuatu yang tidak kau pikirkan,
seperti keinginan ‘datanglah ke tempat ini’, atau ‘jumpailah si polan’, namun
kau di dalam hal ini tidak membutuhkannya, juga tidak ada kemaslahatan di
dalamnya bagimu kau sudah merasa cukup dengan anugrah kenikmatan yang telah di
limpahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepadamu berupa ilmu pengetahuan,
maka ambil sikap tidak memilih dan jangan terburu melakukannya.
Jika
kau berada dalam status hakikat, yaitu status kewalian, maka lawanlah nafsumu
dan ikutlah perintah secara umum. Pelaksanaan perintah itu bisa di lakukan
dengan dua pola:
Pertama, ambil bagian
duniawimu sebatas qut (kebutuhan untuk menyambung hidup) yang sudah
merupakan hak nafsu, lalu tinggalkan bagian yang lain dan laksanakan kewajiban.
Sibukkan diri dengan meninggalkan dosa, baik yang tampak maupun yang samar.
Kedua, terkait dengan perintah tersembunyi (amr
batin), yatu perintah al-Haqq ‘Azza wa Jalla yang bukan berwujud
perintah (atas sesuatu yang wajib) dan larangan (atas sesuatu yang haram). Akan
tetapi, perintah ini terbentuk dalam hal mubah yang tidak memiliki ketentuan
hukum dalam syariah, dengan kata lain ia tidak termasuk ‘larangan’, juga
‘perintah’ wajib, melainkan di serahkan pada hamba untuk bertindak di
dalamnyaatas kehendak sendiri. Hal ini di sebut mubah.[9]
Dalam menyikapi hal yang demikian, seorang hamba tidak boleh
terburu-buru melakukan sesuatu terhadapnya, melainkan harus menunggu perintah.
Baru jika sudah di perintahkan, ia boleh melaksanakannya. Sehingga seluruh
gerak dan diamnya pun di sebabkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى عليه وسلم
قَالَ: حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
(متفق عليه)
Artinya: “Pintu Neraka ditutup dengan aneka keinginan nafsu
seseorang, dan pintu akan membuka/terbuka bagi yang melampiaskan keinginan
nafsunya di luar ketentuan/batas islam. Dan surga ditutupi dengan segala bentuk
kebencian nafsu seseorang dalam menjalankan takwa, dalam mematuhi hukum dan
melaksanakan ajaran Islam, dan pintu surga itu tidak dibuka kecuali dengan
mujahadah yakni menyingkirkan segala bentuk kebencian nafsu tersebut. (HR.
Bukhari Muslim).
Jika memang ada ketentuan hukumnya dalam syariah, maka ia harus
memegang syariah. Dan jika tetap tidak ada ketentuan dalam syariah, maka boleh
bertindak atas dasar perintah-perintah tersembunyi. Jika sudah demikian halnya,
maka ia pun menjadi kalangan ahli hakikat. Lalu jika tetap tidak ada perintah
batin di dalamnya juga, maka itu hanyalah tindakan berstatus penyerahan diri (taslim).
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى عليه وسلم إِنّ اللهَ تَعَالَى قال: مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ
اَذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْئٍ اَحَبَّ
اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ
بِلنَّوَافِلِ حَتَّى اُحِبّهُ فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعُهُ الَّذِى
يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُبِهِ وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطِشُ بِهَا
وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِى لَاُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ
اسْتَعَاذَنِى لَاُعِيْذَنَّهُ (رواه البخارى).
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Sungguh Allah telah menyatakan barang
siapa yang menentang kekasihku, maka
Aku-lah yang memeranginya. Tiada seorang hamba memperdekat diri kepada-Ku
dengan amal ibadah sunah yang sangat kusenangi, sesudah memenuhi kewajibannya,
sehingga aku mengasihinya. dan ketika aku sudah kasihan kepadanya maka Aku-lah
sebagai pendengaran dan penglihatannya, serta sebagai tangan yang dipergunakan
dan kaki yang dilakukan olehnya. Dan jika ia memohon pasti dikabulkan dan jika
memohon perlindungan pasti dilindungi.” (HR.Bukhari).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hawa
nafsu terdiri dari dua perkataan hawa (الهوى) yang berarti: sangat cinta, kehendak, dan
nafsu (النفس)
yang berarati: jiwa, tubuh, diri seseorang, selera dan usaha. Sehingga nafsu
bermakna keinginan, kecenderungan atau hati yang kuat. Jika di tambah dengan
perkataan hawa nafsu berarti dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara
yang tidak baik.
Hawa
nafsu manusia kerapkali memanipulasi amal perbuatan dengan cara-cara yang dapat
mendistruksi (menghancurkan) nilai amal itu sendiri, seperti kemunafikan, riya’
(niat pamer), ketamakan, kesombongan, dan lain sebagainya. Banyak amal
perbuatan yang penampilan lahirnya seperti amal saleh, tetapi tidak memperoleh
nilai kebaikan apa-apa gara-gara niatnya salah. Banyak juga orang yang
penampilannya seperti mu’min tetapi dalam penilaian Tuhan dia adalah kafir
karena hatinya menyimpan keyakinan dan maksud lain.
Jika kau mengikuti al-Haqq ‘Azza wa Jalla untuk melawan
nafsu dan memusuhinya, maka kau berada di pihak Allah dan menjadi musuh nafsu
sebagaimana firman Allah kepada Nabi Dawud As: “Wahai Dawud, penghambaan adalah
kau sepenuhnya di pihak-Ku dan menjadi musuh atas nafsu dirimu sendiri.” Saat
itulah, baru berwujud kesetiaanmu kepada Allah dan penghambaanmu kepada-Nya, lalu akan di datangkanlah
kepadamu segala bagian dengan penuh aroma kelezatan dan engkau merasa terhormat
dan termuliakan. Segala sesuatu akan melayanimu, juga terhormati dan
menjung-jungmu, sebab mereka semua adalah bawahan yang tunduk pada Tuhannya ‘Azza
wa Jalla, senantiasa mengikuti-nya, karena memang dia adalah pencipta dan
pengada mereka (dari ketiadaan), sementara mereka menyatakan penghambaan penuh
pada-Nya.
B. Kritik &
Saran
Kami menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang kami miliki,
maka kami mengharap atas kritikan dan saran para pakar dibidang menulis
lebih-lebih terhadap Bapak Delta Yaumin Nahri, Lc., M. Th. I selaku pemegang
atau yang diberikan tugas makalah ini atas partisipasinya. Itu semua demi untuk mengembangkan
kemampuan yang ada pada diri kami yang selama ini terpendam. Dan menjadi bahan
acuan agar kami bisa memperbaikinya dikemudian hari atau esok hari.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Ghazali, Imam. Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, Bandung:
PUSTAKA HIDAYAH, 1999.
Al-Jailani, Qadir Abdul. Adab As-Suluk Wa At-Tawassul Ila
Manazil Al-Muluk, Jogjakarta: DIVA Press, 2010.
Dahlan, Rahman Abd. Kaidah Kaidah Tafsir, Jakarta: AMZAH,
2014.
Hasan,
Tholhah Muhammad. Apabila Iman Tetap Bertahan, Jakarta: Diva Pustaka,
2007.
Terjemahan
al-Qur’an (Departemen Agama).
[1]
Syekh Abdul
Qadir al-Jailani, Adab As-Suluk Wa at-Tawassul Ila Manazil al-Muluk,
(Jogjakarta: Diva Press, 2010), hlm. 246.
[2]
Ibid.. 212.
[3]
Imam
al-Ghazali, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1999), hlm. 110.
[4] Abd. Rahman
Dahlan, Kaidah Kaidah Tafsir, (Jakarta: AMZAH, 2014), hlm, 269
[5] Terjemahan
al-Qur’an (Departemen Agama)
[6] Terjemahan
al-Qur’an (Departemen Agama)
[7] Muhammad
Tholhah Hasan, Apabila Iman Tetap Bertahan, (Jakarta: Diva Pustaka,
2007), hlm, 98-99.
[8] Terjemahan
al-Qur’an (Departemen Agama)
[9]
Syekh Abdul
Qadir al-Jailani, Adab As-Suluk Wa At-Tawassul Ila Manazil Al-Muluk, hlm.
60.
0 Komentar untuk "Tafsir Tarbawi"