BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kontrak dalam perbankan biasanya diterapkan pada dua produk. Pertama,
factoring atau anjak piutang, para para nasabah ynag memiliki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang kepada bank. Dan selanjutnya, bank
membayar piutang tersebut dan menagihnya dari pihak ketiga. Kedua, post
dated chek, yaitu bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu
piutang tersebut. Jadi produk ini diderivasi dari konsep normatif hiwalah.
Untuk melihat posisi produk hiwalah di tengah percaturan produk
anjak piutang konvensional terlebih dahulu perlu di ketahui spesifikasi anjak
piutang. Anjak piutang adalah transaksi pembelian atau penagihan serta
pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek klien (penjual) kepada perusahaan
factoring, kemudian akan ditagih perusahaan anjak piutang kepada pembeli
karena adanya pembayaran kepada klien oleh perusahaan factoring.
Hiwalah
merupakan salah satu produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Dalam pandangan
BMI, transaksi hiwalah harus diketahui dan di setujui dari para pihak-pihak
yang berkaitan. Menurut kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu
Tsaur, dan al-Zahiriyahbahwa hukumnya wajib bagi yang memberi hutang (muhal)
untuk menerima transaksi hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini.
Sedangkan jumhur ulama berpandangan bahwa perintah hiwalah itu sunnah.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian
Hiwalah?
2.
Bagaimana
Rukun dan Syarat Hiwalah?
3.
Bagaimana
Beban Muhil Setelah Hiwalah?
4.
Bagaimana
Dasar Hukum dan Pembagian Hiwalah?
5.
Bagaimana
Akibat Hiwalah?
6.
Bagaimana
Berakhirnya Akad Hiwalah?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
Pengertian Hiwalah?
2.
Menjelaskan
Rukun dan Syarat Hiwalah?
3.
Menjelaskan
Beban Muhil Setelah Hiwalah?
4.
Menjelaskan
Dasar Hukum dan Pembagian Hiwalah?
5.
Menjelaskan
Akibat Hiwalah?
6.
Menjelaskan
Berakhirnya Akad Hiwalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal
dan al-tahwil, artinya ialah
memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa yang
dimksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:
النَقْلُ مِنْ مَحَلِ إِلَى مَحَلّ
“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”[2]
Hiwalah (Transfer Service) adalah pengalihan utang/piutang dari
orang yang berhutang/berpiutang kepada yang wajib menangguhnya/menerimanya.
Dalam istilah ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil
(orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal’alaih atau orang yang
berkewajiban membayar utang. Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan bahwa A
(muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih
mempunyai piutang pada C (muhal’alaih). Begitu B tidak mampu membayar
utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utang tersebut pada C. Demikian, C
yang haarus membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada b
dianggap selesai.[3]
B.
Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah
hanya ada satu, yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwilahkan
dengan yang menerima hiwalah menurut Hanafiyah ialah:
1.
Orang
yang memindahkan (muhil) adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah
yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
2.
Orang
yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal, maka
batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3.
Orang
yang hiwalah (mahal’alah) juga harus orang yang berakal dan disyaratkan
pula dia meridhainya.
4.
Adanya
utang muhil kepada muhal alaih.
Sedangkan menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah ada empat, sebagai
berikut:
1.
Muhil,
yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan hutang.
2.
Muhtal,
yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang kepada muhil.
3.
Muhal’alaih,
yaitu orang yang menerima hiwalah.
4.
Shighat
hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya:”aku hiwalahkan utangku yang
hak bagi engkau kepada anu” dan kabul muhtal dengan kata-katanya. “aku terima
hiwalah engkau”.[4]
Syarat-syarat hiwalah, yaitu:
1.
Persetujuan
para pihak terkait.
2.
Kedudukan
dan kewajiban para pihak.[5]
Sedangkan syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah:
1.
Relanya
pihak mihil dan muhal tanpa muhal’alaih, jadi yang harus rela itu muhil dan muhal’alaih.
Bagi muhal’alaih rela maupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan
hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela, yang
harus rela adalah muhil, hal ini karena Rosulullah bersabdah:
إِذَاأُحِيْلَ
أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ
“Dan jika salah seorang diantara kamu dihiwalahkan kepada orang
kaya, maka terimalah.”
2.
Samanya
kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas,
dan kuantitasnya.
3.
Stabilnya
muhal’alaih, maka penghiwalahan kepada seseorang yang tidak mampu membayar
utang adalah batal.
4.
Hak
tersebut diketahui jelas.[6]
C.
Beban Muhil Setelah Hiwalah
Dalam suatu hiwalah yang bejalan sah, dengan sendirinya tanggung
jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah
hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi muhil,
hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah muhal, ternyata
muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk
membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut
Imam Malik, orang yang menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggalkan dunia dan ia belum
membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah,
Syarih, dan Usman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggalkan dunia maka orang yang menghutangkan (muhal)
kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
D.
Dasar Hukum Dan Pembagian Hiwalah
Hukum hawalah adalah boleh (jaiz) dan di syariatkan dalam
Islam. Ini berdasarkan hadits dan ijma’. Dasar dari hadits bahwa Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: penundaan (pembayaran utang) oleh orang
kaya adalah kedzaliman. “jika salah seorang dari kamu sekalian di pindahkan
utangnya kepada orang kaya, ikutilah.” (H.R Bukhary Muslim).
Dasar dari ijma’ adalah bahwa ulama sepakat di perbolehkannya hawalah
secara umum karena membutuhkannya.
Ditinjau dari objek akad, mazhab Hanafi menbagi dua bentuk hawalah
yaitu:
1.
Hawalah
haq (pemindahan haq): apabila yang di pindahkan merupakan haq
menurut hutang.
2.
Hawalah
dail (pemindahan hutang): jika yang di pindahkan itu kewajiban
untuk membayar hutang
Ditinjau dari sisi lain hawalah terbagi menjadi dua pula
yaitu:
1.
Pemindahan
sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua, yang di
sebut hawalah muqayyadah (pemindahan bersyarat).
2.
Pemindahan
utang yang tidak di tegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama
kepada pihak kedua yang disebut hiwalah mutlaqa (pemindahan mutlak).[7]
E.
Akibat Hiwalah
Akibat dari akad hiwalah sebagai berikut:
a.
Pihak
yang utangnya dipindahkan, wajib membayar utangnya kepada penerima hawalah.
b.
Penjamin
utang dipindahkan, kehilangan haknya untuk menahan barang jaminan (Pasal 365
ayat 1 dan 2).
c.
Utang
pihak peminjam yang meninggal sebelum melunasi utangnya, di bayar dengan harta
yang ditinggalkannya.
d.
Pembayar
hutang kepada penerima hiwalah/pemindahan utang harus didahulukan atas
pihak-pihak pemberi pinjaman lainnya. Jika harta yang di tinggalkan oleh
peminjam tidak mencukupi (Pasal 366 ayat 1 dan 2).
e.
Akad
hawalah/pemindahan hutang yang bersyarat menjadi batal dan utang kembali
kepada peminjam jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi (Pasal 367).
f.
Peminjaman
wajib menjual kekayaannya jika pembayaran utang yang dipindahkan ditetapkan
dalam akad bahwa utang akan dibayar dengan dana hasil penjualan (Pasal 368).
g.
Pembayaran
yang dipindahkan dapat dinyatakan dan dilakukan dengan waktu yang pasti, dan
dapat pula dilakukan tanpa waktu pembayaran yang pasti (Pasal 369).
h.
Pihak
peminjam terbebas dari kewajiban membayar utang jika penerima hawalah/pemindahan
hutang dibebaskan (Pasal 370).
i.
Apabila
terjadi hawalah pada seseorang, kemudian orang yang menerima pemindahan
utang tersebut meninggal dunia, maka pemindahan utang yang telah terjadi tidak
dapat diwariskan (Pasal 371).[8]
F.
Berakhirnya Akad Hiwalah
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad hiwalah akan
berakhir apabila:
a.
Salah
satu pihak yang sedang melakukan akad hiwalah memfasakh (membatalkan)
akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya
pembatalan akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntutpembayaran hutang
kepada pihak pertama. Demikan pula pihak pertama kepada pihak ketiga.
b.
Pihak
ketiga melunasi hutang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
c.
Pihak
kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta
pihak kedua.
d.
Pihak
kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad
hiwalah itu kepada pihak ketiga.
e.
Pihak
kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar hutng yang
dialihkan itu.
f.
Hak
pihak kedua menurut Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena at-tawa, yaitu
pihak ketiga yang mengalami muflis (bangkrut), atau wafat dalam keadaan muflis
atau dalam keadaan tidak ada bukti autentik tentang akad hiwalah, pihak
ketiga mengingkari akad itu. Menurut ulama Maliki, Syafi’i, dan Hambali, selama
akad hiwalah sudah berlaku tetap, karena persyaratan yang ditetapkan
sudah terpenuhi, maka akad hiwalah tidak dapat berakhir karena at-tawa.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut bahasa,
yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah
memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa yang
dimksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:
النَقْلُ مِنْ مَحَلِ إِلَى مَحَلّ
“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang
lain”
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah
hanya ada satu, yaitu ijab dan kabul yang dilakukan antara yang menghiwilahkan
dengan yang menerima hiwalah menurut Hanafiyah ialah:
1.
Orang
yang memindahkan (muhil) adalah orang yang berakal, maka batal hiwalah
yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
2.
Orang
yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal, maka
batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3.
Orang
yang hiwalah (mahal’alah) juga harus orang yang berakal dan disyaratkan
pula dia meridhainya.
Menurut Mazhab
Maliki, bila muhil telah muhal, ternyata muhal ‘alaih orang
fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh
kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan
hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggalkan dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal
tidak boleh kembali kepada muhil.
Hukum hawalah adalah boleh (jaiz) dan di syariatkan dalam
Islam. Ini berdasarkan hadits dan ijma’. Dasar dari hadits bahwa Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: penundaan (pembayaran utang) oleh orang
kaya adalah kedzaliman. “jika salah seorang dari kamu sekalian di pindahkan
utangnya kepada orang kaya, ikutilah.” (H.R Bukhary Muslim).
Akibat dari akad hiwalah sebagai berikut:
a)
Pihak
yang utangnya dipindahkan, wajib membayar utangnya kepada penerima hawalah.
b)
Penjamin
utang dipindahkan, kehilangan haknya untuk menahan barang jaminan (Pasal 365
ayat 1 dan 2).
c)
Utang
pihak peminjam yang meninggal sebelum melunasi utangnya, di bayar dengan harta
yang ditinggalkannya.
d)
Pembayar
hutang kepada penerima hiwalah/pemindahan utang harus didahulukan atas
pihak-pihak pemberi pinjaman lainnya. Jika harta yang di tinggalkan oleh
peminjam tidak mencukupi (Pasal 366 ayat 1 dan 2).
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad hiwalah akan
berakhir apabila:
a)
Salah
satu pihak yang sedang melakukan akad hiwalah memfasakh (membatalkan)
akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya
pembatalan akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntutpembayaran hutang
kepada pihak pertama. Demikan pula pihak pertama kepada pihak ketiga.
b)
Pihak
ketiga melunasi hutang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
c)
Pihak
kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta
pihak kedua.
B.
Kritik & Saran
Kami menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang kami miliki,
maka kami mengharap atas kritikan dan saran para pakar dibidang menulis
lebih-lebih terhadap bapak Imam Hanafi, S. Pd. I., M. HI selaku pemegang atau
yang diberikan tugas makalah ini atas partisipasinya. Itu semua demi untuk
mengembangkan kemampuan yang ada pada diri kami yang selama ini terpendam. Dan
menjadi bahan acuan agar kami bisa memperbaikinya dikemudian hari atau esok
hari.
DAFTAR RUJUKAN
Antonio
Syafi’I Muhammad, Bank Syariah (Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ascarya,
Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT Raja Gratindo Persada, 2011.
Mardani,
Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group,
2013.
Suhendi.
Hendi, Fiqih Muammalah (Depok: PT Raja Gratindo Persada, 2016.
Yasin
Nur M. Hukum Ekonomi Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2009.
[1] M. Nur Yasin, Hukum
Ekonomi Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 212-215
[2] Hendi Suhendi,
Fiqih Muammalah (Depok: PT Raja Gratindo Persada, 2016), hlm 99.
[3] Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm 126
[4]Ibid. hlm
101-102
[5] Ascarya, Akad
dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT Raja Gratindo Persada, 2011), hlm 108
[6]Ibid. hlm 102
[7] Mardani, Fiqh
Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2013),
hlm. 267-268
[8] Ibid. 269-270
[9] Ibid. 271
0 Komentar untuk "PEMINDAHAN UTANG (HIWALAH)"