ca-app-pub-7044437663567666/2222590119

Click Here. Get Money

Ushu; Fiqh






 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Ushul Fiqh adalah suatu ilmu yang mengungkap tentang berbagai metode yang dipergunakan oleh para mujtahid dalam menggali menapak sutu hukum syari’at dari sumbernya yang telah dinashkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Atas dasar nash syar’i para ulama mujtahid mengambil illat yang menjadi dasar penetapan ‘hukum’ dalam mencapai kemaslahatan yang menjadi tujuan utama adanya syari’at ini. Ushul Fiqh sebagai suatu ilmu dapat dipandang terdiri atas sekumpulan metodelogi atau kaidah yang menjelaskan bagaimana para ulama mujtahid mengambil hukum dari dalil-dalil yang tertulis dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Fatwa Shahabat (Madzhab Shahabi) termasuk salah satu dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama atas penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Sehingga, hal ini sangatlah penting bagi kita sebagai generasi Muslim untuk membahas lebih dalam lagi tentang Fatwa Shahabat ini.

Untuk memeberikan pemahaman yang mendalam mengenai Madzhab Shahabat (Qaulus-Shahabat), maka dalam makalah ini akan kami sajikan beberapa bahasan, yaitu:

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengertian madzhab al-shahaby?

2.      Bagaimana kehujjahan mazhab al-shahaby?

3.      Bagaimana pendapat ulama tentang qaul ash-shahaby?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Menjelaskan madzhab al-shahaby.

2.      Menjelaskan madzhab al-shahaby.

3.      Menjelaskan pendapat ulama tentang qaul ash-shahaby.













BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Madzhab Al-Shahaby

Hampir semua kitab ushul fiqh membahas mazhab shahaby meskipun mereka berbeda dalam keluasan bahasanya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang menamakannya dengan qaul shahaby قول الصحا بي)), ada pula yang menamakannya dengan fatwa shahaby (فتوى الصحا بي). Hampir semua literatur yang membahas mazhab shahaby menempatkannya pada pembahasan tentang “dalil syara’ yang di perselisihkan.” Bahkan ada yang menempatkannya pada “pembahasan tentang dalil syara’ yang ditolak,” seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya syekh Syarh Minhaj al-‘Ushul. Hal ini menunjukkan bahwa mazhab syahaby itu berbeda dengan ijma’ shahaby yang menempati kedudukan yang tinggi dalam dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua pihak, meskipun dikalangan sebagaian kecil ulama ada yang menolak kehujjahan ijma’ secara umum.[1]

Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud mazhab shahabi menurut istilah ialah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hukum yang dihadapi sahabat.

Ulama sepakat bahwa pendapat sahabat tentang kasus yang tidak dapat dicapai oleh akal pikiran adalah merupakan hujjah bagi umat Islam. Demikian juga pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan atau ditolak oleh sahabat yang lain juga dapat dijadikan hujjah.

Namun mereka berbeda pendapat tentang pendapat sahabat yang murni merupakan hasil ijtihadnya. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila terjadi pertentangan antara pendapat sahabat dengan qiyas maka di dahulukan pendapat sahabat.[2]





            Yang dimaksud qaul disini adalah pendapat sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan pengertian sahabat adalah setiap muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah SAW. Dalam waktu yang cukup lama serta banyak menimba ilmu dari beliau SAW. Misalnya Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ut, Said bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khaththab, Aisyah, Ali bin Abi Thalib. Para beliau Radiallahu ‘anhum, yang banyak berfatwa tentang hukum Islam.

            Adapun yang diperselisihkan para ulama sebagai sumber hukum islam adalah perkataan sahabaty yang semata-mata berdasar hasil ijtihad sendiri-sendiri dan mereka tidak dapat satu perkataan.

            Abdul kadir Zaidan sebagaimana dikutip H. Satria Effendi, membagi pendapat sahabat ke dalam empat kategori:

a.       Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu Mas’ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa semacam ini bukan merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, fatwa-fatwa seperti ini di sepakati menjadi landasan hukum bagi generasi sesudahnya.

b.      Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka di kenal dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.

c.       Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat lain. Para mujtahid di kalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam suatu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat (diikuti) sahabat yang lain.

d.      Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.

Terhadap dua perkara yang terakhir ini kalangan Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal memandang dapat dibuat pedoman oleh generasi sesudahnya. Sedangkan menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, Mu’tazilah dan kalangan syi’ah bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi sesudahnya.[3]

B.     Kehujjahan Mazhab Shahaby

Dari uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah  bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah SAW. Seperti ucapan Aisyah: "Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah banyangan alat tenun".

Keterangan di atas, tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad  dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat.

Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh umat islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. Mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari'at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qath'i  . Seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti karena, tidak diketahui adanya perselisihan dari Umat Islam.

Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu Hanifah menyetujui tersebut dan berkata, "Apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam

al-qur'an dan sunah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya.

Dengan demikian, Abu hanifah tidak memandang bahwa seorang sahabat itu sebagai hujjah karena dia bisa mengambil pendapat mereka yang dia kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya qiyas  terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh  (menghapus/menghilangkan) terhadap berbagai pendapat yang terjadi di antara mereka.

Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma'  di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma'  mereka.

Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu di kalangan sahabat tidak di pandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad  untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi  secara perseorangan dari orang yang tidak ma'sum  (tidak terjaga dari dosa).

Selain itu, para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi'i melarang untuk menetapkan hukum atau memberi fatwa, kecuali dari Kitab dan Sunnah atau dari pendapat yang disepakati oleh para ulama dan tidak terdapat perselisihan di antara mereka, atau menggunakan qiyas pada sebagiannya.[4]

Maksud kehujjahan di sini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah Mazhab Shahaby itu menyangkut beberapa segi pembahasan, yaitu: (1) pembahasan dari kehujjahannya terhadap sesama sahabat yang lain, dan kehujjahannya terhadap generasi berikutnya atau orang yang selain sahabat, (2) pembahasan dari segi bentuk Mazhab Shahabi, dapat di bedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yaitu:

1.      Pendapat sahabat yang berada di luar lingkup ijtihat (masalah ta’abudi atau hal lain yang secara qath’i berasal dari Nabi), meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi hujah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).

2.      Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tawufiq, tentang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu di berlakukan. Para ulama sepakat bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujah untuk sesama sahabat lainnya, baik ia seorang imam, hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini dinukilkan oleh kebanyakan ahli ushul, diantaranya oleh al-Amidi. Juga di nukilkan oleh dua pakar ushul fiqh, yaitu: Ibn Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan argumentasi sebagai berikut:

a.       Bila sahabat yang lain itu adalah mujahid, maka pendapat seorang sahabat tidak dapat diberlakukan bagi sahabat lainnya itu, karena seorang mujahid tidak boleh ber-taqlid kepada yang sesama sahabat lainnya. Kalau sahabat lain itu bukan mujtahid, tentu ia menjadi muqallid (taqlid), namun hal ini lemah sifatnya karena hal ini juga berlaku untuk kalangan orang yang bukan mujahid.

b.      Ada ijma’ dikalangan sahabat yang membolehkan seorang sahabat berbeda pendapat dengan sahabat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seirang sahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap sahabat lainnya. Tidak ada celaan dari seorang sahabat terhadap sahabat lain bila ia tidak sependapat. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang sahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat bagi sahabat lainnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujahan pendapat sahabat bagi orang lain selain sahabat, seperti: tabi’in (generasi sesudah sahabat), tabi’ tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan generasi berikutnya:

1.      Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari ulama kalam asy-Ariyah dan muktazilah, Imam Syafi’i dalam satu qaul-nya Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari ulama Hanafiyah. Mereka mengatakan bahwa pendapat sahabat yang berasal dari ijtihatnya tidaklah menjadi hujah bagi generasi sesudahnya. Pendapat inilah yang dipilih al-Amidi.

Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:

a.       Firman Allah dalam surah an-Nisa’ (4): 59:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  

Artinya: 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dalam hal ini ada perintah Allah untuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul bila terdapat perselisihan pendapat. Seandainya boleh mengambil pendapat sahabat, tentu Allah akan menyuruh umat berbuat demikian.

b.      Ijma’ sahabat tentang kebolehan beda pendapat antara sesama sahabat. Seandainya pendapat seorang sahabat itu menjadi hujah, tentunya seorang sahabat wajib mengikuti yang lain, dan ini adalah mustahil.

c.       Sahabat mengemukakan pedapatnya berdasarkan hasil ijtihadnya, bukan berdasarkan taufiq, sehingga ada kemungkinan pendapatnya itu salah. Karenanya, pendapat sahabat itu tidak berdaya hujjah terhadap yang lain.

d.      Para sahabat terkadang berbeda pendapat dalam beberapa masalah: sebagian sahabat mengikuti pendapat yang berbeda deng pendapat sahabat yang lain. Kalau setiap pendapat sahabat itu menjadi hujah terhadap sahabat lain dan orang-orang sesudahnya tentu huja-hujah Allah itu berbeda atau berbenturan satu sama lain. Mengikuti pendapat sebagian sahabat tidaklah lebih baik dibandingkan dengan pendapat sahabat yang lain.

2.      Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn Anas, al-Rasyi, al-Barza’i dari sahabat Abu Hanifah, al-Syafi’i dalam salah satu qaul-nya (qaul qadim), dan Ahmad dalam salah satu riwatnya. Mereka berpendapat sahabat itu menjadi hujah secara mutlak. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:

a.       Firman Allah dalam surah Ali ‘Imran (3): 110

öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ ÇÊÊÉÈ  

Artinya: 110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf.

Ayat ini merupakan kitab yang diarahkan pada umat yang menjelaskan bahwa apa yang disuruh sahabat itu adalah makruf sedangkan berbuat yang makruf itu wajib hukumnya.

3.      Pendapat kalangan ulama yang tidak bersikap secara mutlak (pasti) dalam menerima atau menolak pendapat sahabat: artinya: menerima dalam bentuk tertentu dan menolak yang lainnya. Rincian pendapat mereka sebagai berikut:

a.       Pendapat sahabat dapat berdaya hujah bila pendapat itu bertentangan dengan qiyas. Alasannya adalah seperti yang dikemukakan al-Mahalli, bahwa para sahabat itu biasa beramal dengan qiyas, kecuali bila menemukan dalil lain yang lebih kuat yang mendorongnya untuk tidak menggunakan qiyas, baik dalam bentuk nash maupun dalam bentuk ijma’ bila seorang sahabat menyalahi qiyas, maka kemungkinan besar (kuat dugaan) bahwa ia mempunyai dalil yang lebih kuat. Bila pendapatnya sama dengan qiyas, maka kemungkinan pendapatnya berlandaskan qiyas. Dalam keadaan ini, maka qiyas itulah yang menjadi hujah, dan bukan pendapat pribadi sahabat tersebut.

b.      Pendapat sahabat yang didukung oleh qiyas qarib dapat menjadi hujah, karena pendapat tersebut telah mendapat kekuatan oleh kesamaannya dengan qiyas.

c.       Pendapat sahabat dapat menjadi hujah bila pendapatnya itu telah tersebar dan tidak ditemukan ada pendapat lain yang menyanggahnya pendapat ini muncul dikalangan ulama yang tidak menerima ijma’ sukuti sebagai dalil yang berdiri sendiri. Jika ada pendapat pribadi seorang sahabat, meskipun pendapat itu telah tersebar luas dan tidak ada yang membantahnya, tetapi tetap masih bernama pendapat pribadi sahabat, bukan ijma’ sukuti dari sahabat. Pendapat ini muncul dikalangan ulama yang tidak menerima ijma’ sukuti dari sahabat. Pendapat sahabat menjadi hujah bukan karena ia telah menjadi ijma’ sahabat tetapi karena pendapat pribadi sahabat itu secara jelas tidak ada yang menyanggahnya.[5]

C.    Pendapat Ulama Tentang Qaul Ash-Shahaby

Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilaya ijtihad. Sebab, dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan sebagai al-khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah SAW.

Para ulama juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi), baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-shahabi), maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang (ijma’ as-sukuti), yang dalam istilah lain disebut dengan mazhab ash-shahabi, misalnya: bagian warisan nenek perempuan adalah seper-enam warisan.

Sebaliknya, para ulama juga sepakat, bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainnya. Sebab fakta sejarah menunjukkan, dikalangan para sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu. Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainnya, tentu perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi. Yang menjadi persoalan ialah, apakah qaul ash-shahabi yang merupakan pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in dan generasi berikutnya ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama sebagai berikut.

Menurut jumhur, yaitu ulama Hanafiyah, Imam Malik, pendapat asy-syafi’i yang lama (qaul al-qadim), dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi merupakan hujjah. Bahkan menurut mereka, qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas.

a.       Firman Allah SWT pada surah Ali-‘Imran (3): 110:

öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  

Artinya: 110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Ayat ini ditujukan kepada para sahabat, sehingga menunjukkan bahwa apa yang nereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.

Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal dari Rasulullah SAW. Disamping itu, karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah saw dalam rentang waktu yang lama, hal itu memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum syara’ (maqashid asy-syari’ah). Dengan bergaul bersama Rasulullah SAW, berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau dalam nenetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendejati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan al-qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadis yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-‘adalah), yang sangat sulit diterima, menurut kebiasaan, jika mereka melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan. Sebab hal itu terlarang menurut syara’.

Menurut ulama Asya’irah, Mu’tazilah, Syi’ah, salah satu pendapat asy-Syafi’i (qaul al-jadid) dan salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal: qaul ash-shahabi bukan merupakan hujjah. Alasan pendapat mereka adalah sebagai berikut.

a.       Firman Allah SWT pada surah al-Hasyr (52): 2:

(#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ  

Artinya: 2. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.

Ayat ini, menurut mereka, memerintahkan orang-orang yang memiliki nalar untuk berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu sekaligus melarang orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi untuk bertaklid, apalagi jika qaul ash-Shahabi tersebut bertentangan dengan al-Qiyas. Dalam pada itu, al-Qiyas dipandang sebagai dalil keempat setelah al-Qur’an, Sunnah, dan al-Ijma’. Oleh karena itu, tidak boleh mengikuti qaul  ash-shahabi yang bertentangan dengan al-Qiyas, karena kedudukan al-Qiyas lebih tinggi dari qaul ash-Shahabi.

b.      Ijma’ telah terjadi dikalangan sahabat, bahwa diantara sesama sahabat boleh berbeda pendapat. Oleh karena itu, pendapat merupakan hujjah.

Dalil yang kedua ini kurang tepat, karena objek persoalan ialah, apakah qaul ash-shahabi menjadi hujjah bagi generasi setelah mereka? Bukan diantara sesama sahabat.

c.       Dari segi logika, para sahabat termasuk golongan mujtahid juga. Sedangkan pendapat mujtahid mempunyai peluang untuk salah dan lupa. Oleh karena itu, mujtahid dari generasi tabi’in dan sesudahnya tidak wajib mengikuti qaul ash-shahabi.

d.      Fakta sejarah menunjukkan, beberapa sahabat mengakui hasil ijtihad tabi’in yang berbeda dengan hasil ijtihad mereka. Hal ini tentu tidak akan terjadi, jika memang qaul ash-shahabi merupakan hujjah. Sebagai contoh: ketika Anas bin Malik r.a ditanya mengenai suatu masalah, ia berkata: “Tanyakan masalah itu kepada pemimpin kita, al-Hasan”. Sebagai diketahui, Anas bin Malik adalah generasi sahabat, sedangkan Hasan adalah generasi tabi’in. Hal ini menunjukkan bahwa qaul ash-shahabi bukan merupakan hujjah.

Sebagaimana dikatakan Wahhab az-Zuhaili, diantara kedua pendapat dan alasan diatas, dapat dicarikan jalan tengahnya, yaitu: qaul ash-shahabi yang semata-mata merupakan hasil ijtihad perorangan, bukanlah merupakan hujjah syar’iyyah yang berdiri sendiri. Sebab, sebagai hasil ijtihad, ia dapat benar dan dapat salah. Apalagi dikalangan sahabat tidak ditemukan orang yang memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Bahwa benar para sahabat memiliki kedudukan yang sangat mulia, tetapi hal itu tidak mengubah status pendapat mereka menjadi ma’shum. Oleh karena itu, pendapat sahabat yang bersifat hasil ijtihad perorangan hanya menjadi hujjah yang wajib diikuti, apabila memiliki sandaran (mustanad) dalam bentuk nash al-Qur’an atau sunnah.[6]

Tentang qaul sahabat, terdapat hal-hal yang disepakati oleh para ulama dan terdapat pula yang diperselisihkan, yaitu:

1.      Hal yang disepakati oleh ulama adalah, bahwa pendapat sahabat atau qaul sahabat tidaklah menjadi hujah bagi sahabat lainnya. Seperti qaul Ibnu Umar tidak menjadi hujah bagi Ibnu Abbas, qaul Abu Bakar tidak menjadi hujah bagi Umar bin khaththab demikian juga sebaliknya.

2.      Hal-hal yang diperselisihkan adalah, tentang boleh atau tidaknya qaul sahabat di jadikan hujah bagi tabi’in atau orang-orang yang sesudahnya. Dalam hal ini terbagi pada dua pendapat:

a.       Jumhur ulama berpendapat bahwa qaul sahabat tidak dapat dijadikan hujah dalam menentukan hukum syara’, baik bagi sahabat yang lainnya, tabi’in ataupun orang-orang yang sesudahnya.

b.      Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa. Qaul sahabat boleh dijadikan hujah untuk tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya. Sementara itut mereka mensyaratkan bahwa tidak boleh bertentangan dengan qiyas.[7]

Dengan demikian perselisihan pendapat para ulama dalam hal ini boleh atau tidaknya berhujah dengan qaul sahabat dalam menetapkan hukum.

















BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud mazhab shahabi menurut istilah ialah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hukum yang dihadapi sahabat.

Dengan demikian, Abu hanifah tidak memandang bahwa seorang sahabat itu sebagai hujjah karena dia bisa mengambil pendapat mereka yang dia kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya qiyas  terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh  (menghapus/menghilangkan) terhadap berbagai pendapat yang terjadi di antara mereka.

Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilaya ijtihad. Sebab, dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan sebagai al-khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah SAW.

B.     Kritik & Saran

Kami menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang kami miliki, maka kami mengharap atas kritikan dan saran para pakar dibidang menulis lebih-lebih terhadap Bapak Maimun, S.H.I, M.Pd.I Hum selaku pemegang atau yang diberikan tugas makalah ini atas partisipasinya. Itu semua demi untuk mengembangkan kemampuan yang ada pada diri kami yang selama ini terpendam. Dan menjadi bahan acuan agar kami bisa memperbaikinya dikemudian hari atau esok hari.











DAFTAR RUJUKAN

Dahlan. Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: AMZAH, 2014

Djalil. Basiq, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIAGROUP, 2010

Ishomuddin. Abbadi, Ushul Fiqh, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2010

Syarifuddin. Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: KENCANA PRENAMEDIAGROUP, 2014

Syarifuddin Amir, ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIAGROUP, 2008

Suwarjin, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2012

Syafi’i. Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2015







[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA PRENAMEDIAGROUP, 2014), hlm. 427

[2] Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 172

[3]Abbadi Ishomuddin, Ushul Fiqh, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2010 ), hlm. 86-88

[4] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2015), hlm. 141-142

[5] Amir Syarifuddin, ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIAGROUP, 2008), hlm. 429-433 

[6] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2014), hlm. 207-209


[7] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIAGROUP, 2010), hlm. 164-165
0 Komentar untuk "Ushu; Fiqh"

Easy Get Money

Entri Populer

Back To Top