ca-app-pub-7044437663567666/2222590119

Click Here. Get Money

Filsafat Ontologi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat adalah berasal dari bahasa Inggris philosopy yang berarti filsafat,  juga berasal dari kata Yunani philosophia yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kebijaksanaan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia  (kearifan). Menurut pengertiannya  yang semula dari zaman Yunani kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intlektual dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan manusia yang secara langsung atau tidak membuat kehidupan kita kaya akan ilmu-ilmu yang memang seharusnya dimiliki manusia, terkadang tanpa kita sadari pengetahuan seakan menjadi hal yang tidak viral ketika manusia belum mngenal dunia ilmiah sehingga meremehkan berberapa ilmu pengetahuan, sehingga dalam kepincangan pola pikir manusia ini mengahasilkan pemikiran yang tidak mengacu kepada kebijaksaan. Mengapa demikian, kerena memang konteks dasar dalam kehidupan manusia tidak akan lepas dengan pola berfikir, sehingga ketika pengetahuan sangat minim dikuasai oleh manusia maka pemikiran akan suatu hal yang seharusnya akan mengacu pada hasil yang sistematis maka akan rancu ketika membuat kesimpulan dari pemikiran tersebut.
“Filsafat adalah akar dari segala pengetahuan manusia baik itu secara ilmiah maupun non ilmiah”.[1]  Artinya ketika problematika terjadi dalam pengetahuan manusia maka nantinya akan di kembalikan pada filsafat. Dalam filsafat ada beberapa aspek yang salah satunya adalah Metafisika / Ontologi yang memang menjadi cabang dalam filsafat yang membahas tentang keberadaan suatu hal yang ada, baik ada karena di adakan atau ada dengan sendirinya. Menurut Ainurrahman Hidayat dalam Filsafat ilmu, Koento Wibisono mengemukakan bahwa filsafat dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu yang berusaha mengkaji hakikat suatu hal yang ada sehingga dalam cabang ontologi perlu di fahami dalam memilih keyakinan dalam menjawab hakikat tentang apa “ada” itu sebenarnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ontologi?
2.      Apa saja aliran-aliran ontologi?
C.    Manfaat Masalah
1.      Memahami diskursus tentang ontologi.
2.      Memahami tentang aliran-aliran ontologi.

BAB II
PEMBAHASAN
   
  1. Pegertian Ontologi
“Secara etimologis ontologi berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata ontos yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu, jadi ontologi dapat di ambil kesimpuan bahwa ontologi merupakan imu tentang ada. Secara pendifinesian ontologi adalah bidang ilmu filsafat yang mempelajari hakekat realita yang ada” .[2]
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”, Tokoh pertama yang membuat istilah ontologi adalah Christian Wolff (1679-1714).  Istilah itu berakar dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ontos berarti “yang berada atau keberadaan”, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran atau juga pemikran (Lorens Bagus:2000). Maka ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada pada ilmu.
 Dan juga dapat diartikan bahwa ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya. Sedangkan menurut Jujun S .Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif  mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”, Menurut Pandangan The Liang Gie Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan.
Ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar dari seluruh dari ilmu pengetahuan. Artinya dalam permasalahan yang dibahas adalah akar dari ilmu pengetahuan tersebut sehingga menjadi ilmu yang pasti. Jadi untuk mengetahui serta memahami ilmu pengetahuan secara menyeluruh dari seluk beluknya kita harus memahami teori ontologi yang memang secara ruang lingkup khusus mempelajari cara memahami ilmu pengetahuan secara radikal. Namun ketika hasrat muncul untuk memahami sebuah teori ontologi yang membahas ilmu secara keseluruhan, maka perlu kiranya menguasai pemahaman dari pengertian ontologi itu sendiri.
Objek ilmu atau keilmuan itu empirik, dunia yang dapat dijangkau dengan panca indra. Jadi objek ilmu adalah pengalaman indrawi. Dengan kata lain ontology adalah ilmu yang mempelajari hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada penalaran logis. Bidang pembicaraan teori tentang ontologi (hakikat)  ini luas sekali, segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai. Nama lain untuk teori tentang hakikat ialah teori tentang keadaan (Langeveld).
“Apa itu hakikat ? hakikat ialah realitas; realitas adalah ke-real-an; real artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi, hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau menipu, bukan keadaan yag berubah.[3]
“Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari setiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati. Idea itu adalah paham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yabg berada di Benua manapun di Dunia ini.”[4]
Demikan pula manusia juga punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah “badan hidup” yang kita kenal dan dapat berfikir, dengan kata lain, idea manusia adalah “binatang yang berfikir”. Konsep binatang ini bersifat universal, berlaku untuk semua manusia baik itu besar atau kecil, tua atau muda, lelaki-perempuan, manusia Eropa, India, Asia, China, dan sebagainya. Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-idea itu berada di balik yang nyata dan idea itulah yang abadi.
Benda-benda yang kita lihat atau yang dapat ditangkap oleh panca-indra senantiasa berubah. Karena itu, ia “bukanlah hakikat”, tetapi hanya “bayangan”, “kopi” atau “gambaran” dari idea-idea-nya. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca-indra ini hanyalah khayal dan ilusi belaka.
Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda dimana entitas (wujud)  dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisik, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada dalam rangka tradisional. ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaianya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Para ahli memberikan pendapatnya tentang realita itu sendiri, diantaranya Bramel. Ia mengatakan bahwa ontologi ialah interpretasi tentang suatu realita dapat bervariasi, misalnya apakah bentuk dari suatu meja, pasti setiap orang berbeda-beda pendapat mengenai bentuknya, tetapi jika ditanyakan bahanya pastilah meja itu substansi dengan kualitas materi, inilah yang dimaksud dari setiap orang bahwa suatu meja itu suatu realita yang kongkrit. Plato mengatakan jika berada di dua dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca indra kita nampaknya cukup nyata atau real.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling Dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakn tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
  1. Aliran-aliran Ontologi
Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian munculah beberapa aliran dalam filsafat, antara lain: Filsafat Materialisme, Filsafat Idealisme, Filsafat Monoisme, Filsafat Dualisme, Filsafat Skeptisisme, dan Filsafat Agnostisisme.[5]
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1. Monisme
 Aliran monisme berpendirian bahwa hakikat ada yang merupakan apa yang dikaji dalam disiplin ilmu hanya ada satu hal saja, tidak mungkin dua. Hakikat sumber asal dari ada itu dapat berupa materi atupun ataupun dapat berupa rohani. Oleh karena itu aliran monisme ini terbelah menjadi dua paham yaitu, paham yang memandang obyek itu hanya materi disebut paham “materialisme”, sedangkan yang memandang obyek study hanya yang besifat rohani dinamakan paham “idealisme”.
Monisme tidak membedakan antara pikiran dan zat, mereka keduanya hanya berbeda dalam gejala disebabkan karena proses yang berlainan tetapi mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi, dari teori relativitas Einstein, energy (pikiran) hanya bentuk lain dari zat. Dalam pandangan ini proses berfikir dianggap sebagai aktivitas elektronika dari otak.
      2 Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu.
Kalau dikatakan bahwa materialisme sering disebut naturalisme, sebenarnya ada sedikit perbedaan diantara dua paham itu. Namun begitu, materlialisme dapat dianggap seatu penampakan diri dari naturalism. Naturlisme berpendapat bahwa alam saja yang ada, yang lainnya diluar alam tidak ada. Yang dimaksud alam disini ialah segala-galanya, meliputi benda dan ruh. Jadi bnda dan ruh sama nilainya dianggap sebagai alam yang satu. Sebaliknya, materlialisme menganggap ruh adalah kejadian dari benda. Jadi tidak sama nilai benda dan ruh seperti dalam naturalisme.
“Istilah pokok yang melandasi ajaran ini adalah materi, sedangkan istilah yang mendasari proses perkembangan adalah evolusi. Istilah materi tidak lagi didasarkan pada penemuan atom, tetapi didasarkan pada istilah-istilah poa, proses, dan tingkatan. Oleh karena iu makna materi berkembang menjadi keadaan sebab akibat, keadaan sebagai benda mati, dan suatu kerangka ruang dan waktu.”[6]
Dalam perkembangannya, sebagai aliran yg paling tua, paham ini timbul dan tenggelam seiring roda kehidupan manusia yang selalu diwarnai dengan filsafat dan agama. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
Ø  Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir. Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
Ø   Penemuan-penemuan menunjukkan betapa bergantungnya jiwa pada badan. Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai  peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa ini.
Ø  Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul disitu. Kesemuanya ini memperkat dugaan bahwa yang memperkuat hakikat adalah benda.
      3. Idealisme
Sebagai lawan materialisme adalah aliran idealism yang dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedang  spiritualisme berarti serba ruh.
Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menepati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelasan ruhani.[7]
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah :
Ø  Nilai ruh lebih tinggi dari pada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh ini dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya, bayangan atau penjelmaan saja.
Ø  Manusia lebih dapat memahami dirinya dari pada dunia diluar dirinya.
Ø  Materi ialah kumpulan energy yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
Aristoteles (284-322 SM) memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.[8]
Materi bagi penganut idealisme sebenarnya tidak ada. Segala kenyataan ini termasuk kenyataan manusia adalah ruh. Ruh itu tidak hanya menguasai kenyataan manusia adalah ruh. Ruh itu tidak hanya menguasai manusia perorangan, tetapi juga kebudayaan. Jadi kebudayaan adalah perwujudan dari alam cita-cita itu adalah ruhani. Karenanya aliran ini dapat disebut idealisme dan dapat disebut spiritualisme.
4.  Dualisme
Setelah kita memahami bahwa hakikat itu satu (monisme) baik materi ataupun ruhani, ada juga pandangan yang mengatakan bahwa hakikat itu ada dua aliran ini disebut dualisme. Aliran ini berpendapat bahwa hakekat terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani (akal-budi), fisik (kebendaan). Dari segi obyek fisik dapat di tangkap melalui panca indera disebut ilmu empiris dan pengetahuan, namun dari segi obyek rohani atau kesadaran akal budi disebut aliran rasionaoisme.”[9]  Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.
Umumnya manusia tidak akan mengalami kesulitan untuk menerima prinsip dualisme ini, kerana setiap kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh pancaindera kita, sedang kenyataan batin dapat segera diakui adanya oleh akal dan perasaan hidup.
Dualisme membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda sui generis secara substantif. Filsuf yang menganut paham dualisme diantaranya Rene Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-1714) dan Jhon Locke (1632-1714). Ketiga ahli filsafat ini berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia adalah bersifat mental. Bagi Descartes yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikir sesuatu itu menjadi ada (cogito ergosum). Jhon Locke berpendapat bahwa pikiran manusia dapat diibaratkan seperti lempengan lilin yang licin (tabula rasa) di mana pengalaman manusia kemudian melekat pada lempeng tersbut. Makin lama, makin dewasa manusia, maka makin banyak pengalaman indera yang mewarnai pikiran manusia. Dengan demikian, maka disimpulkan bahwa pikiran dapat diibaratkan sebagai organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera, otak menjadi memorinya.
5.  Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.  Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. “Menurut Sudarsono dalam Dictionary of Philosophy and Religion Pluralisme dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah substansi yang ada itu terbentuk dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.[10]
Tokoh modern aliran ini William James (1842-1910 M). kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psiolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth james mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. Kenyataan terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri.
6.  Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berate nothing atau tidak ada. Sebuah dokrin yang tidak mengakui validitas alternative yang positif.
Dokrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (483-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Bukankah Zeno juga perna sampai pada kesimpulan bahwa hasil pemikiran itu selalu tiba pada paradox. Kita harus menyatakan bahwa realitas itu tunggal dan banyak, terbatas dan tak terbatas, dicipta dan tak dicipta. Karena kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran lebih baik tid menyatakan apa-apa tentag realitas.
Kedua, bila sesuatu itu ada, ia dapat diketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi. Akal juga tidak mampu menyakinkan kita tentang alam semesta ini karena kita telah dikukung oleh dilemma subjektif. Kita berfikir dengan kemauan, ide kita, yang kita terapkan pada fenomena. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
         “Ada tiga proposisi tentang hakekat ada atau realitas:
1.      Tidak ada satupun yang eksis karena realitas yang sebenarnya tidak ada.
2.            Bila suatu itu ada, ia tidak akan dapat diketahui, itu sebabnya karena pengindraan itu adalah ilusi.
3.      Sekalipun realitas kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.”[11]
 7. Agnotisisme
Agnostisisme adalah  paham pengingkaran atau penyangkalan manusia mengetahui hakikat benda baik materi ataupun ruhani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat. Namun tampaknya agnotisisme lebih baik dari itu karena menyarah sama sekali.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi ataupun hakikat ruhani. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent.

BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Secara etimologis ontologi berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata ontos yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu, jadi ontologi dapat di ambil kesimpuan bahwa ontologi merupakan imu tentang ada. Secara pendifinesian ontologi adalah bidang ilmu filsafat yang mempelajari hakekat realita yang ada
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”, Tokoh pertama yang membuat istilah ontologi adalah Christian Wolff (1679-1714).  Istilah itu berakar dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ontos berarti “yang berada atau keberadaan”, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran atau juga pemikran (Lorens Bagus:2000). Maka ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada pada ilmu.
Ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar dari seluruh dari ilmu pengetahuan. Artinya dalam permasalahan yang dibahas adalah akar dari ilmu pengetahuan tersebut sehingga menjadi ilmu yang pasti.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut
Monisme
Aliran monisme berpendirian bahwa hakikat ada yang merupakan apa yang dikaji dalam disiplin ilmu hanya ada satu hal asja, tidak mungkin dua. Hakikat sumber asal dari ada itu dapat berupa materi atupun ataupun dapat berupa rohani.
Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Idealisme
Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menepati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelasan ruhani.


Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa hakekat terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani (akal-budi), fisik (kebendaan).
Pluralisme
Menurut Sudarsono dalam Dictionary of Philosophy and Religion Pluralisme dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah substansi yang ada itu terbentuk dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berate nothing atau tidak ada. Sebuah dokrin yang tidak mengakui validitas alternative yang positif.
Agnotisisme
Agnostisisme adalah  paham pengingkaran atau penyangkalan manusia mengetahui hakikat benda baik materi ataupun ruhani.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Aceng, et, al. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2011.
Tafsir Ahmad. filsafat Umum; Akal dan hati Sejak Thales Sampai Capra. Badung: PT
Remaja Rosdakarya. 2009.
Hidayat Ainurrahman. Buku Ajar Filsafat Ilmu. Pamekasan: Stain Pamekasan Pers.
2006.
Adib Mohammad. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pegetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
Sudarsono. et. al.  Filsafat islam. Malang: Wisma kalimetro. 2014


[1] Dr. Aceng Rahmat, et, al. Filsafat Ilmu Lanjutan.(Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011), hlm 134
[2] Prof. Dr. Sudarsono SH, Ms,et. al.  Filsafat islam. (Malang: Wisma kalimetro, 2014). Hlm 28
[3] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, filsafat Umum; Akal dan hati Sejak Thales Sampai Capra,(Badung: PT Remaja Rosdakarya,2009),hal. 28
[4] Ibid, hal. 69
[5] Drs. H. Mohammad Adib , Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pegetahuan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2015), hal. 68
[6] Ainurrahman Hidayat, M. hum, Buku Ajar Filsafat Ilmu,(Pamekasan: Stain Pamekasan Pers, 2006) hlm. 27
[7] Ibid. hlm 28
[8]  Ibid. hlm 29
[9] Prof. Dr. Sudarsono SH, Ms,et. al.  Filsafat islam. (Malang: Wisma kalimetro, 2014). Hlm  33
[10]  Ibid.hlm  34
[11] Ibid. hlm 34
0 Komentar untuk "Filsafat Ontologi"

Easy Get Money

Entri Populer

Back To Top