BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat adalah
berasal dari bahasa Inggris philosopy yang
berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani philosophia yang lazim diterjemahkan
sebagai cinta kebijaksanaan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta)
dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani kuno itu
filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak
hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intlektual dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan
soal-soal praktis.
Pengetahuan
merupakan khazanah kekayaan manusia yang secara langsung atau tidak membuat
kehidupan kita kaya akan ilmu-ilmu yang memang seharusnya dimiliki manusia,
terkadang tanpa kita sadari pengetahuan seakan menjadi hal yang tidak viral
ketika manusia belum mngenal dunia ilmiah sehingga meremehkan berberapa ilmu
pengetahuan, sehingga dalam kepincangan pola pikir manusia ini mengahasilkan pemikiran
yang tidak mengacu kepada kebijaksaan. Mengapa demikian, kerena memang konteks
dasar dalam kehidupan manusia tidak akan lepas dengan pola berfikir, sehingga
ketika pengetahuan sangat minim dikuasai oleh manusia maka pemikiran akan suatu
hal yang seharusnya akan mengacu pada hasil yang sistematis maka akan rancu
ketika membuat kesimpulan dari pemikiran tersebut.
“Filsafat adalah
akar dari segala pengetahuan manusia baik itu secara ilmiah maupun non ilmiah”.[1] Artinya ketika problematika terjadi dalam
pengetahuan manusia maka nantinya akan di kembalikan pada filsafat. Dalam
filsafat ada beberapa aspek yang salah satunya adalah Metafisika / Ontologi
yang memang menjadi cabang dalam filsafat yang membahas tentang keberadaan
suatu hal yang ada, baik ada karena di adakan atau ada dengan sendirinya.
Menurut Ainurrahman Hidayat dalam Filsafat ilmu, Koento Wibisono mengemukakan
bahwa filsafat dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu yang berusaha mengkaji
hakikat suatu hal yang ada sehingga dalam cabang ontologi perlu di fahami dalam
memilih keyakinan dalam menjawab hakikat tentang apa “ada” itu sebenarnya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian ontologi?
2. Apa
saja aliran-aliran ontologi?
C.
Manfaat
Masalah
1. Memahami
diskursus tentang ontologi.
2. Memahami
tentang aliran-aliran ontologi.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pegertian Ontologi
“Secara
etimologis ontologi berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata ontos yang artinya ada dan logos yang
artinya ilmu, jadi ontologi dapat di
ambil kesimpuan bahwa ontologi merupakan imu tentang ada. Secara pendifinesian
ontologi adalah bidang ilmu filsafat yang mempelajari hakekat realita yang ada”
.[2]
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”, Tokoh pertama yang membuat istilah ontologi adalah Christian Wolff
(1679-1714). Istilah itu berakar dari bahasa Yunani, yang
terdiri dari dua kata, yaitu ontos berarti “yang berada atau
keberadaan”, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran atau juga
pemikran (Lorens Bagus:2000). Maka ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada pada
ilmu.
Dan juga dapat diartikan bahwa ontologi
adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya. Sedangkan menurut Jujun S
.Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam
Perspektif mengatakan, ontologi
membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau
dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”, Menurut
Pandangan The Liang Gie Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang
mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan.
Ontologi adalah
penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar
dari seluruh dari ilmu pengetahuan. Artinya dalam permasalahan yang dibahas
adalah akar dari ilmu pengetahuan tersebut sehingga menjadi ilmu yang pasti.
Jadi untuk mengetahui serta memahami ilmu pengetahuan secara menyeluruh dari
seluk beluknya kita harus memahami teori ontologi yang memang secara ruang
lingkup khusus mempelajari cara memahami ilmu pengetahuan secara radikal. Namun
ketika hasrat muncul untuk memahami sebuah teori ontologi yang membahas ilmu
secara keseluruhan, maka perlu kiranya menguasai pemahaman dari pengertian
ontologi itu sendiri.
Objek ilmu atau keilmuan itu empirik, dunia yang dapat dijangkau dengan
panca indra. Jadi objek ilmu adalah pengalaman indrawi. Dengan kata lain
ontology adalah ilmu yang mempelajari hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada)
dengan berdasarkan pada penalaran logis. Bidang pembicaraan teori tentang
ontologi (hakikat) ini luas sekali,
segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan
nilai. Nama lain untuk teori tentang hakikat ialah teori tentang keadaan
(Langeveld).
“Apa itu hakikat ? hakikat ialah realitas; realitas adalah ke-real-an; real
artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi, hakikat adalah kenyataan yang
sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau menipu,
bukan keadaan yag berubah.”[3]
“Argumen
ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori
ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal
dari setiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai
idea atau konsep sesuatu.
Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep
universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik
itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun
yang sudah mati. Idea itu adalah paham,
gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yabg berada di
Benua manapun di Dunia ini.”[4]
Demikan pula manusia juga punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah
“badan hidup” yang kita kenal dan dapat berfikir, dengan kata lain, idea
manusia adalah “binatang yang berfikir”. Konsep binatang ini bersifat
universal, berlaku untuk semua manusia baik itu besar atau kecil, tua atau
muda, lelaki-perempuan, manusia Eropa, India, Asia, China, dan sebagainya.
Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan
hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-idea itu berada di
balik yang nyata dan idea itulah yang abadi.
Benda-benda yang kita lihat atau yang dapat ditangkap oleh panca-indra
senantiasa berubah. Karena itu, ia “bukanlah hakikat”, tetapi hanya “bayangan”,
“kopi” atau “gambaran” dari idea-idea-nya. Dengan kata lain, benda-benda yang
dapat ditangkap dengan panca-indra ini hanyalah khayal dan ilusi belaka.
Ontologi
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang
berbeda dimana entitas (wujud) dari kategori-kategori yang logis yang
berlainan (objek-objek fisik, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada
dalam rangka tradisional. ontologi dianggap sebagai teori mengenai
prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaianya akhir-akhir
ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Para ahli
memberikan pendapatnya tentang realita itu sendiri, diantaranya Bramel. Ia
mengatakan bahwa ontologi ialah interpretasi tentang suatu realita dapat
bervariasi, misalnya apakah bentuk dari suatu meja, pasti setiap orang
berbeda-beda pendapat mengenai bentuknya, tetapi jika ditanyakan bahanya
pastilah meja itu substansi dengan kualitas materi, inilah yang dimaksud dari
setiap orang bahwa suatu meja itu suatu realita yang kongkrit. Plato mengatakan
jika berada di dua dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca
indra kita nampaknya cukup nyata atau real.
Dengan
demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau paling Dalam dari segala sesuatu yang
ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi,
dan teologi.
Kosmologi
adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta.
Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakn tentang jiwa
manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
- Aliran-aliran Ontologi
“Dari teori hakikat (ontologi)
ini kemudian munculah beberapa aliran dalam filsafat, antara lain: Filsafat
Materialisme, Filsafat Idealisme, Filsafat Monoisme, Filsafat Dualisme, Filsafat Skeptisisme, dan Filsafat Agnostisisme.”[5]
Di dalam
pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1. Monisme
Aliran monisme berpendirian bahwa hakikat ada yang merupakan apa yang
dikaji dalam disiplin ilmu hanya ada satu hal saja, tidak mungkin dua. Hakikat
sumber asal dari ada itu dapat berupa materi atupun ataupun dapat berupa
rohani. Oleh karena itu aliran monisme ini terbelah menjadi dua paham yaitu,
paham yang memandang obyek itu hanya materi disebut paham “materialisme”,
sedangkan yang memandang obyek study hanya yang besifat rohani dinamakan paham
“idealisme”.
Monisme tidak membedakan antara pikiran dan zat, mereka keduanya hanya
berbeda dalam gejala disebabkan karena proses yang berlainan tetapi mempunyai
subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi, dari teori relativitas Einstein,
energy (pikiran) hanya bentuk lain dari zat. Dalam pandangan ini proses
berfikir dianggap sebagai aktivitas elektronika dari otak.
Aliran ini
menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini
sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya
bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah
materi, yang lainnya jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat saja dari
proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu.
Kalau
dikatakan bahwa materialisme sering disebut naturalisme, sebenarnya ada sedikit perbedaan diantara dua paham itu. Namun begitu,
materlialisme dapat dianggap seatu penampakan diri dari naturalism. Naturlisme
berpendapat bahwa alam saja yang ada, yang lainnya diluar alam tidak ada. Yang
dimaksud alam disini ialah segala-galanya, meliputi benda dan ruh. Jadi bnda
dan ruh sama nilainya dianggap sebagai alam yang satu. Sebaliknya,
materlialisme menganggap ruh adalah kejadian dari benda. Jadi tidak sama nilai
benda dan ruh seperti dalam naturalisme.
“Istilah pokok yang melandasi ajaran ini adalah materi, sedangkan istilah
yang mendasari proses perkembangan adalah evolusi. Istilah materi tidak lagi
didasarkan pada penemuan atom, tetapi didasarkan pada istilah-istilah poa,
proses, dan tingkatan. Oleh karena iu makna materi berkembang menjadi keadaan
sebab akibat, keadaan sebagai benda mati, dan suatu kerangka ruang dan waktu.”[6]
Dalam
perkembangannya, sebagai aliran yg paling tua, paham ini timbul dan tenggelam seiring roda kehidupan manusia yang selalu diwarnai dengan
filsafat dan agama. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat
dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
Ø
Pada pikiran yang masih sederhana,
apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
Ø
Penemuan-penemuan
menunjukkan betapa bergantungnya jiwa pada badan. Oleh sebab itu, peristiwa
jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa
jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa ini.
Ø
Dalam sejarahnya manusia memang
bergantung pada benda seperti padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul disitu. Kesemuanya
ini memperkat dugaan bahwa yang memperkuat hakikat adalah benda.
3. Idealisme
Sebagai lawan materialisme adalah aliran idealism yang dinamakan juga spiritualisme. Idealisme
berarti serba cita, sedang spiritualisme
berarti serba ruh.
“Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari
ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan
menepati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelasan
ruhani.”[7]
Alasan aliran ini yang menyatakan
bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah :
Ø
Nilai ruh lebih tinggi dari pada
badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh ini
dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya,
bayangan atau penjelmaan saja.
Ø
Manusia lebih dapat memahami dirinya
dari pada dunia diluar dirinya.
Ø
Materi ialah kumpulan energy yang
menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
“Aristoteles (284-322 SM) memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang
menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda
itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu.”[8]
Materi bagi
penganut idealisme sebenarnya
tidak ada. Segala kenyataan ini termasuk kenyataan manusia adalah ruh. Ruh itu
tidak hanya menguasai kenyataan manusia adalah ruh. Ruh itu tidak hanya
menguasai manusia perorangan, tetapi juga kebudayaan. Jadi kebudayaan adalah perwujudan
dari alam cita-cita itu adalah ruhani. Karenanya aliran ini dapat disebut
idealisme dan dapat
disebut spiritualisme.
4. Dualisme
Setelah kita
memahami bahwa hakikat itu satu (monisme) baik materi ataupun ruhani, ada juga
pandangan yang mengatakan bahwa hakikat itu ada dua aliran ini disebut
dualisme. “Aliran ini berpendapat bahwa hakekat terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani (akal-budi), fisik (kebendaan). Dari segi obyek fisik dapat di tangkap melalui panca indera disebut ilmu
empiris dan pengetahuan, namun dari segi obyek rohani atau kesadaran akal budi
disebut aliran rasionaoisme.”[9]
Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan
muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing
bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini
ialah dalam diri manusia.
Umumnya
manusia tidak akan mengalami
kesulitan untuk menerima prinsip dualisme ini, kerana setiap kenyataan lahir
dapat segera ditangkap oleh pancaindera kita, sedang kenyataan batin dapat
segera diakui adanya oleh akal dan perasaan hidup.
Dualisme membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka
berbeda sui generis secara substantif. Filsuf yang menganut paham
dualisme diantaranya Rene Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-1714)
dan Jhon Locke (1632-1714). Ketiga ahli filsafat ini berpendapat bahwa apa yang
ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia
adalah bersifat mental. Bagi Descartes yang bersifat nyata adalah pikiran,
sebab dengan berpikir sesuatu itu menjadi ada (cogito ergosum). Jhon Locke
berpendapat bahwa pikiran manusia dapat diibaratkan seperti lempengan lilin
yang licin (tabula rasa) di mana pengalaman manusia kemudian melekat pada
lempeng tersbut. Makin lama, makin dewasa manusia, maka makin banyak pengalaman
indera yang mewarnai pikiran manusia. Dengan demikian, maka disimpulkan bahwa
pikiran dapat diibaratkan sebagai organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman
indera, otak menjadi memorinya.
5. Pluralisme
Paham ini
berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan
mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. “Menurut Sudarsono dalam Dictionary of Philosophy and Religion Pluralisme dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun
dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa
Yunani Kuno adalah substansi yang ada itu terbentuk dari 4 unsur, yaitu tanah,
air, api, dan udara.”[10]
Tokoh modern
aliran ini William James (1842-1910 M). kelahiran New York dan terkenal sebagai
seorang psiolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth james mengemukakan, tiada kebenaran yang
mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas
dari akal yang mengenal. Sebab sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala
yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah,
karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada
adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman
yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Kenyataan terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri.
6. Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berate nothing atau tidak ada. Sebuah dokrin yang
tidak mengakui validitas alternative yang positif.
Dokrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan
Gorgias (483-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama,
tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Bukankah
Zeno juga perna sampai pada kesimpulan bahwa hasil pemikiran itu selalu tiba
pada paradox. Kita harus menyatakan bahwa realitas itu tunggal dan banyak,
terbatas dan tak terbatas, dicipta dan tak dicipta. Karena kontradiksi tidak
dapat diterima, maka pemikiran lebih baik tid menyatakan apa-apa tentag
realitas.
Kedua, bila sesuatu itu ada, ia dapat diketahui. Ini
disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber
ilusi. Akal juga tidak mampu menyakinkan kita tentang alam semesta ini karena
kita telah dikukung oleh dilemma subjektif. Kita berfikir dengan kemauan, ide
kita, yang kita terapkan pada fenomena. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat
kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
“Ada tiga proposisi tentang
hakekat ada atau realitas:
1.
Tidak ada satupun yang eksis
karena realitas yang sebenarnya tidak ada.
2.
Bila suatu itu ada, ia tidak
akan dapat diketahui, itu sebabnya karena pengindraan itu adalah ilusi.
3.
Sekalipun realitas kita
ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.”[11]
7. Agnotisisme
Agnostisisme
adalah paham pengingkaran atau
penyangkalan manusia mengetahui hakikat benda baik materi ataupun ruhani.
Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan
kemampuannya mengetahui hakikat. Namun tampaknya agnotisisme lebih baik dari
itu karena menyarah sama sekali.
Paham ini
mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat
materi ataupun hakikat ruhani. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya
orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang
berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal
adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Secara
etimologis ontologi berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata ontos yang artinya ada dan logos yang
artinya ilmu, jadi ontologi dapat di
ambil kesimpuan bahwa ontologi merupakan imu tentang ada. Secara pendifinesian
ontologi adalah bidang ilmu filsafat yang mempelajari hakekat realita yang ada
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”, Tokoh pertama yang membuat istilah ontologi adalah Christian Wolff
(1679-1714). Istilah itu berakar dari bahasa Yunani, yang
terdiri dari dua kata, yaitu ontos berarti “yang berada atau
keberadaan”, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran atau juga
pemikran (Lorens Bagus:2000). Maka ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada pada
ilmu.
Ontologi
adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan
akar-akar dari seluruh dari ilmu pengetahuan. Artinya dalam permasalahan yang
dibahas adalah akar dari ilmu pengetahuan tersebut sehingga menjadi ilmu yang
pasti.
Di dalam pemahaman ontologi dapat
diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran
sebagai berikut
Monisme
Aliran
monisme berpendirian bahwa hakikat ada yang merupakan apa yang dikaji dalam
disiplin ilmu hanya ada satu hal asja, tidak mungkin dua. Hakikat sumber asal
dari ada itu dapat berupa materi atupun ataupun dapat berupa rohani.
Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber
yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut
dengan naturalisme. Menurutnya
bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Idealisme
Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari
ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan
menepati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelasan
ruhani.
Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa hakekat terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani (akal-budi), fisik (kebendaan).
Pluralisme
Menurut
Sudarsono dalam Dictionary
of Philosophy and Religion Pluralisme dikatakan
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno
adalah substansi yang ada itu terbentuk dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api,
dan udara.
Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berate nothing atau tidak ada. Sebuah dokrin
yang tidak mengakui validitas alternative yang positif.
Agnotisisme
Agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan manusia
mengetahui hakikat benda baik materi ataupun ruhani.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmat Aceng,
et, al. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta:
Kencana Prenada Media
Group. 2011.
Tafsir Ahmad. filsafat
Umum; Akal dan
hati Sejak Thales Sampai Capra. Badung: PT
Remaja Rosdakarya. 2009.
Hidayat
Ainurrahman. Buku Ajar Filsafat Ilmu. Pamekasan:
Stain Pamekasan Pers.
2006.
Adib Mohammad. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu
Pegetahuan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
Sudarsono. et. al. Filsafat islam. Malang: Wisma kalimetro. 2014
[1] Dr. Aceng Rahmat, et,
al. Filsafat Ilmu Lanjutan.(Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2011), hlm 134
[2] Prof. Dr. Sudarsono SH, Ms,et. al. Filsafat islam. (Malang: Wisma kalimetro,
2014). Hlm 28
[3] Prof. Dr. Ahmad
Tafsir, filsafat Umum; Akal dan hati Sejak Thales Sampai Capra,(Badung: PT Remaja
Rosdakarya,2009),hal. 28
[4] Ibid, hal. 69
[5] Drs. H. Mohammad Adib , Filsafat
Ilmu; Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pegetahuan, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2015), hal. 68
[6] Ainurrahman Hidayat, M. hum, Buku Ajar Filsafat Ilmu,(Pamekasan:
Stain Pamekasan Pers, 2006) hlm. 27
0 Komentar untuk "Filsafat Ontologi"