Pengertian dan pembagian Maqamat
Secara
harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau
pangkal mulia.[3] Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan
panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan
Allah.[4] Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang
berarti tangga.
Tentang
berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
sampai menuju Tuhan, dikalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai
dikutip Harun Nasution mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh,
yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-farg, al-tawadlu’, al-taqwa,
al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.[5]
Sementara
itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat
hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-farg,al-shabr, al-tawakkal
dan al-ridla.[6] Dalam pada itu Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum
al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr,al-faqr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan
al-ridla.[7]
Kutipan
tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,
namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara’, al-farg, al-sabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu’,
al-mahabbah dan al-ma’rifah tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga
istilah yang disebut terakhir itu terkadang para ahli tasawwuf menyebutnya
sebagai maqamat dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad. Untuk itu
dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang
disepakati oleh mereka, yaitu sebagai berikut :
1. Al-Taubah
Al-Taubah
berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali.[8]
Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memehon ampun atas
segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan
mengulangi perbuatan dosa tersebut yang disertai dengan amal kebaikan. Harun
Nasution mengatakan taubat yang dimaksud sufi adalah taubat yang sebenarnya,
taubat yang tidak membawa kepada dosa lagi.[9] Untuk mencapai taubat yang
sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai
satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh
kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang
sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang
yang taubat adalah orang yang cinta pada Allah, dan orang yang demikian
senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.[10]
Didalam
al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat.
Diantaranya sebagai berikut :
و الذين اذا
فعلوا فاحشة او ظلموا انفسهم ذكروا الله فستغفروا لذنوبهم ( ال عمران : ١٣۵)
Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.
(QS. Ali ‘Imran, 3:135).
2. Al-Zuhud
Secara
harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian.[12] Sedangkan menurut Harun Nasution Zuhud artinya keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[13]
Selanjutnya
al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama berbeda pendapat dalam
mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang
zuhud didalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah
dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang
halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya
sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang
haram sebagai suatu kewajiban.[14]
3. Al-Wara’
Secara
harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.[17] Kata
ini mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi
al-wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat syubhat
(keragu-raguan) antara halal dan haram. Al-Muhasibi menolak segala makanan yang
dalamnya terdapat syubhat. Tangan Bishr al-Hafi, tiap ada makanan yang dalamnya
terdapat syubhat tak dapat diulurkannya untuk mengambil makanan itu.[18]
Sikap
menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadis Nabi yang berbunyi:
فمن التقى من
الشبهات فقد استبرا من الحرام (رواه البخارى)
Barang siapa
yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari
yang haram. (HR. Bukhari).
4. Al-Faqr
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin.[19] Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih
dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya
untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada
pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[20]
5. Al-Shabr
Secara
harfiah, sabar berarti tabah hati.[21] Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar
artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah,
tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun
sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.[22]
Selanjutnya
Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan
sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa
mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman al-Hairi
mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu
yang kurang menyenangkan.[23] Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah
bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari
jasad.[24]
Dikalangan
para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah,
dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala
percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu
datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak
menunggu-nunggu datangnya pertolongan.[25]
6.
Al-Tawakkal
Secara
harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri.[26] Al-Qusyairi lebih lanjut
mengatakan bahwa tawakkal tempatnya didalam hati, dan timbulnya gerak dalam
perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi
setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan
Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu
sebenarnya takdir Allah.[28]
Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterimakasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerahkan kepada qadab dan qadar Tuhan.
Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau
makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut dari pada
dirinya. Percaya pada janji Allah. Menyerah kepada Allah, dengan Allah dan
karena Allah.[29]
Bertawakkal
termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah, diantaranya Allah berfirman:
و اتقوا الله
وعلى الله فليتوكل المؤمنون ( المائدة : ۱۱)
Dan
bertawakkallah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin
itu harus bertawakkal. (QS. al-Maidah, 5:11).
7. Al-Ridha
Secara
harfiah ridha artinya rela, suka, senang.[30] Harun Nasution mengatakan ridha
berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Tuhan. Menerima qada dan
qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang
tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima
malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari
Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya
qada dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qada dan qadar,
malahan perasaan cinta bergelora ketika turunnya bala’ (cobaan yang berat).[31]
Beberapa
sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan Akhlak yang mulia.
Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya
dengan bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Hal yang demikian
identik dengan proses takhalli yaitu membersihkan diri dari sifat yang buruk
dengan taubat dan menghiasi diri dengan sifat yang baik, dan hal ini disebut
dengan istilah tahalli, sebagaimana dikemukakan dalam tasauf akhlaki.
Tag :
artikel
0 Komentar untuk "Artikel Pengertian dan pembagian Maqamat"